Ha! Akhirnya… setelah pending berminggu-minggu, bisa blogging ria lagi :)
Jujur, mendadak mati kutu ketika harus mulai menulis lagi. Apa yang mau ditulis?? Akhir-akhir ini super riweuh, jadi deh saya bingung mau menuliskan apa... *alibi*
Welcome to the jungle,
Itulah yang pertama kali terlintas di otak. Hampir sebulanan saya menjadi bagian suatu perusahaan. Dan…
Samasekali di luar bayangan. Hahaha.
Saya,
Nggak suka mengajar.
Nggak betah belajar hitungan.
Ternyata kudu berjuang lagi beradaptasi dengan semua A-Z itu. Hyaaaaaaaa. Presentasi, belajar hitung-hitungan, ngapalin rumus... policy, bla bla bla. Mau gilaaaaaaa!! Baru-baru ini, saya SUKSES melewati post-test dan serangkaian kuis siaul, kemudian saya sadar : cari duit itu nggak gampang, cuy!
We have ‘it’ choice,
Ada kalanya kita harus memilih menjalani hidup seperti apa. Dan itulah yang sedang saya jalani. Memilih untuk jauh meninggalkan Jogja, menanggalkan kenyamanan selama hampir 23 tahun yang telah menemani *nangisbombai*
“Dan, kenapa kamu mau hidup jauh dari Jogja? Meninggalkan semua hal yang sempurna di belakang?”
“Yah, yang sempurna di belakang itu—apakah bisa menjadi tameng saya besok-besok?”
Tidak.
Saya, memang memilih meninggalkan Jogja. Dengan kecemasan luarbiasa dari kedua orangtua saya. Pak, Bu, saya akan pulang dengan emas di tangan! Hahahaha. Duh, saya jadi khawatir jika saya benar-benar ditempatkan di area timur Indonesia. Hiyyy :p
We’re the winner of outer ring,
Bangun pagi-pagi (secara enam bulan sebelumnya saya menjadi pemalas akut), menikmati polusi, pulang ketika matahari menghilang, beda prinsip dengan teman-teman baru, inilah-itulah… Mau curhat juga jadi berasa basi. Sialan juga nih stigma ‘lulusan psikologi’, bikin saya mikir-mikir kalau mau curcol sama orang lain. Jujur deh, ada kalanya merasa down dan ingin kabur balik ke sangkar sebelumnya : JOGJA!!!!!!! Huhuhuhu…
Sampai suatu ketika saya terdampar duduk dengan salah satu teman MT yang bawel masyaoloh. Sebut saja X. X ini adalah cowok tipe-tipe sanguine : rame, berisik, hobi mengomentari hal-hal paling nggak penting di kelas, dan tak peduli meski satu kelas kesal dengan celetukannya yang amat sangat nggak penting. Suatu saat, pasca kuis apalah—yang jelas kuis ini sukses menghancurkan mood saya seharian, saking saya nggak bisa mengerjakan sedikitpun—si X bercerita tentang filosofi Muhammad Ali pada saya. Itupun setelah saya menodongnya dengan pernyataan sepihak,
“Kenapa sih, kamu cengar-cengir melulu???”
Dan sambil mencoret-coret buku tulisnya yang sudah bulukan gara-gara kebayakan dicoret-coret, ia pun menjawab,
“Kamu tau Muhammad Ali? Tau nggak kenapa dia selalu menang? Dia selalu menang karena dia punya prinsip bahwa ia adalah pemenang bahkan sebelum masuk ke dalam ring. Menang, karena ia memiliki mental seorang pemenang yang ia tanamkan jauh-jauh sebelum kakinya menginjak ring. Nah itu yang aku pegang. Itulah kenapa aku bisa cengar-cengir begini.”
Kasarannya semacam itu. Kalimat yang biasa saja, apalagi bagi saya yang mengenyam ilmu psikologi selama 3,5 tahun *sombong* Hahahaha.
Bukan. Bukan. Kalimat itu memang biasa. Tapi mengingat yang mengucapkannya adalah si X—yang notabene adalah anak paling cuek, terkadang menjadi public enemy gara-gara kebawelannya—saya seperti diingatkan kembali. Diingatkan, bahwa saya tak bisa mengalah sebelum benar-benar bertarung. Seperti yang juga ia katakan,
“Toh, kalaupun kali ini aku gagal. Ya sudah. Berarti aku memang belum berjodoh dengan tempat ini.”
Ya sudah. Memang sesimpel itu, se-legowo itu. Legowo bukan berarti kalah, kok. Tapi tetap saja, saya perlu orang lain untuk mengingatkan saya. So, thx to X. You’re my man :D
Here & now,
Detik ini, saya tahu bahwa saya tidak salah melangkah :)
"Apa sih, yang kita cari...?"
"Sesuap nasi."
Finally..
BalasHapusWaiting for more stories.. Kinda help me to fight! > <
Miss uuuuuuuu......!!!! T.T