Jumat, 01 November 2019

Sabar atau sadar?




Saya tahu ada yang tidak 'sehat' dengan diri sendiri saat mengalami banyak kemarahan dan banyak iri. Huh, dengki itu benar penyakit hati kok. Hahaha.

Jika dulu saya percaya pada teori bahwa saya harus lebih banyak bersabar, tidak kali ini.

Sudah beberapa minggu terakhir ini saya mencoba lebih 'sadar' alih-alih sekadar 'sabar' dengan apa yang terjadi dalam diri, mencoba mencari akar sebabnya dulu alih-alih mencari pelarian dengan hal-hal yang sifatnya temporer : makan coklat, membeli buku, mengobrol tentang isi hati,dan sebagainya.




**


Ada satu tulisan menarik dari Mbak Hanny di blog-nya. Tentang self-care. dan saya pikir itu relevan sekali :)

Tulisan itu kemudian membuat saya ingat kembali pada yang satu ini,

Harus selesai dengan diri sendiri sebelum memikirkan orang lain

Kalimat yang muncul di suatu hari saat mendapati Ibu yang kelelahan setelah hari-hari di rumah sakit bersama Bapak. 

Ew, seems like a strong words, huh? And slightly egocentric, nah?

Tapi sebenarnya begini,


**



Saya mempelajari psikologi saat kuliah, dan sampai sekarang masih jatuh cinta dengan teori Abraham Maslow--iya, yang tahap kebutuhan manusia itu; dimana untuk 'naik kelas' ke kebutuhan selanjutnya maka kebutuhan sebelumnya harus selesai atau dipenuhi terlebih dulu.

Selama sekian tahun saya terjebak dengan melakukan serangkaian keinginan orang lain, tak mampu menolak atau berkata tidak, dan akhirnya saya menemukan diri saya tertekan. Sedikit banyak sarkasme dan residu negatif saya timbul akibat represi ini :))



**


Tentang kemarahan dan dengki tempo hari, saya sadar bahwa paparan negatif itu sudah sampai pada tahap memusingkan, sehingga mau tak mau saya harus melakukan screening diri. Elah bahasanya, screening. Eh tapi benar deh, bukan hanya kondisi fisik saja yang harus rutin menjalani medical check-up, jiwa pun. Karena setiap emosi negatif, sebenarnya memiliki sebab. Baik secara langsung, maupun tidak langsung. Ndak ujug-ujug datang begitu saja, sih.

Dalam kasus saya, menurut kontemplasi ((kontemplasi)) tempo hari, saya masih menyisakan baby blues dan post-power syndrome.

"Ya ampun, kan sudah lama."

Betul. Karena itu pasti ada yang salah, kan. Sungguh, self-esteem 'diserang' oleh pikiran sendiri itu ironis loh. Pikiranmu sendiri mem-bully jiwamu ki konyol tenin :')

Dan akhirnya, untuk berdamai dengan kegilaan yang lumayan bikin swing mood itu, saya memutuskan untuk benar-benar meluangkan waktu khusus untuk melakukan yang saya bisa (agar merasa capable dan utuh kembali, karena permasalahan saya adalah pada post-power syndrome ). Dan setelah diri merasa 'penuh' barulah saya mencoba untuk berdiskusi lagi dengan para bayi yang memang sedang super aktif plus sedang super njelei itu. Saya tidak memungkiri bahwa rutinitas yang sama setiap hari ini lumayan bikin stress, kok. Jadi mau tak mau saya harus menemukan polanya dulu, menyeimbangkan antara apa yang saya mau dan apa yang harus saya lakukan sebagai tanggung jawab. 

Jadi, bereskan dahulu isi kepala, urai satu-satu, baru mengurus hal-hal di luar diri. Niscaya ((niscaya)) akan lebih sehat si jiwa ceunah.

*Heiii, Bapak Rugrats! Aku mencoba mengamalkan saran-saranmu lagi, nih!


**


Serius, menyadari pusaran emosi dalam diri ini sungguh bagus kok. Karena setelahnya (meskipun ini proses yang panjang), diri terasa lebih mampu bersiap dengan kemungkinan-kemungkinan pemicu yang membuat suasana hati buruk.

Well, somehow 'it's okay not to be okay' is the best way to maintain your mental health.


Anyway, memiliki kontrol terhadap diri memang tak selalu mudah. Namun itulah hal terbaik dan lebih mudah dilakukan daripada mengatur mulut dan isi kepala orang lain :)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar