Sabtu, 04 Maret 2017

Oxford dan Lembar Kosong



Memahaminya?
Rasanya seperti membaca setiap halaman kamus Oxford. Detail, memerlukan perhatian spesifik dan waktu yang sungguh luang. Tanpa distorsi, apalagi interupsi.


**

Ada kalanya sesi sarapan setiap pagi adalah sesi yang penuh rasa lelah. Karena ada berbagai rentetan kisah yang terasa gundah, meluncur cepat, terkadang nyaris tak terkendali.

"Gue udah mau gila, kali. Endless meeting, marathon-briefing--"
Peranku sepertinya sudah cukup baik, seperti semangkok bubur ayam tanpa kedelai yang selalu ia pesan dalam kotak bekal maroon yang selalu ia bawa ketika membeli bubur ayam andalan.

'Respek sedikit lah sama lingkungan, gue belum siap tinggal di Mars kalau bumi ini hancur.' begitu katanya ketika aku iseng menyindirnya dengan sarkasme, mengomentari kotak bekal maroon miliknya itu.

Peranku sepertinya sudah cukup baik, diam tenang dan menyimak.

"Menurut lu gimana?"

Oke, ini saatnya aku buka suara. Sedikit mengingat-ingat, apakah kali ini ia butuh solusi atau sekedar ingin didengarkan dengan efektif.
"Iya, parah juga sih kalau begitu. Tapi gue rasa lu udah luarbiasa, Re."

Seberkas senyum tersungging. Buru-buru memasukkan beberapa gadget, memulas lipstik nude, dia kemudian seperti teringat sesuatu,

"Duh, gue lupa ada meeting. Makasih buat sesi sarapan kali ini ya!"


**


Ronde.
Akhir-akhir ini aku cukup keranjingan ronde. Ronde yang disajikan sederhana, dimana yang paling menonjol adalah aroma jahenya yang sukses menimbulkan rasa hangat. Herannya, hangatnya sampai ke hati. See? Mungkin ini adalah salah satu kemampuan bersandiwara, termasuk dengan perasaan sendiri. Kamu boleh saja mengernyit, namun akupun tak benar-benar peduli.

"Gue dijodohin eh ini."

Biasanya  aku akan menyimak dahulu. Mencerna seksama, lalu jika diperlukan akan melemparkan fakta. Iya, dia masih bersamaku. Diterangi oleh lampu jalan, dengan mangkok ronde yang setengah habis. Sialnya, kali ini pretensi yang susah payah kubangun dengan semangkok ronde gagal.

"Menurut lu gimana?


**


Yang perlu dijadikan pelajaran dari masa kecil adalah keteguhan hati. Untuk mendapatkan sesuatu, untuk belajar berjalan, untuk bisa mengendarai sepeda, untuk bisa dipahami Ibu. Tak mudah, karena orang dewasa lebih sedikit memahami apa sebenarnya yang menjadi mau kita. 

Aku ingat, saat itu aku ingin sekali sebuah sepeda berwarna merah. Sepeda yang memiliki gambar bintang di sisi kanannya, lengkap dengan bel yang berbunyi nyaring. Bapak, adalah sosok yang cukup keras. Memberikan hal yang dimaui anaknya, selalu bukan hal yang cuma-cuma.

'Kamu harus menabung. Bapak tidak akan membelikanmu sepeda, karena Bapak sudah kasih kamu uang jajan.'

Dan demikian, sudah dapat ditebak. Aku belajar untuk sabar, menabung nyaris sebagian besar uang jajan yang seharusnya bisa kubelikan dadar telur puyuh favorit dan es limun berwarna hijau mentereng akibat pewarna makanan. 

Keteguhan hati, terkadang memang membuatmu bahagia pada akhirnya.


**

"Gue dijodohin eh ini."

Biasanya  aku akan menyimak dahulu. Mencerna seksama, lalu jika diperlukan akan melemparkan fakta. Iya, dia masih bersamaku. Diterangi oleh lampu jalan, dengan mangkok ronde yang setengah habis. Sialnya, kali ini pretensi yang susah payah kubangun dengan semangkok ronde gagal.

"Menurut lu gimana? 
"Sama gue aja, gimana?"

Entah kenapa, kali ini aku merasa tak perlu basa-basi.


**


Perjalanan ini cukup panjang. Dalam arti denotatif, karena menaiki kereta Argolawu dari Gambir menuju Gubeng selalu memerlukan sekian jam. Bukan karena harga tiket pesawat mahal, walaupun aku sedikit mengakui itu. Hahaha. Bukan pula karena agenda mendadak yang kami ambil kali ini. Bukan. Karena ada banyak hal dan kisah yang harus benar-benar kami luruskan dalam perjalanan panjang ini. Sesuatu yang terlewat, atau tak sengaja dipendam.

Memahamiku?
Mungkin dia hanya cukup membaca selembar kertas kosong.