Selasa, 21 Februari 2017

5cm.





Here's to the ones who dream
Foolish as they may seem
Here's to the hearts that ache
Here's to the mess we make


Daya lenting.
"Seberapa sanggup kamu tangguh untuk tetap berada pada pendirianmu?"
"Sampai kapanpun."
"Yakin?"
"Entahlah, setidaknya aku mencoba."

Masih ingat, teori backpack ala Ryan Birmingham? Kehidupan kita terlalu penuh dengan aturan 'seharusnya', 'baiknya', 'sebagaimana mestinya.' Penuh dengan berbagai teori penerimaan sosial (meskipun benar). 

"Karena kamu harus menjadi aktor ternama jika ingin menyenangkan semua orang."
Dan kamu bukan artis.
So, you shouldn't.


**


Atau masih ingat rasanya belajar melangkah ketika bayi? Ingat rasa sakit yang muncul saat lutut berdarah atau perih terluka? Rasanya tidak. Karena kepuasan tidak linier dengan rasa sakit. Tidak selalu. Mungkin sekedar sebagai pemicu, pendorong untuk kembali mencoba. Namun belum tentu linier. Dan ketika kamu dewasa, kamu hanya akan mengingat rasa puas dan bahagia yang timbul saat kenangan 'berhasil berjalan' kembali di recall.
Entahlah apa namanya.
Dan aku, sibuk bertanya kepada diri sendiri.

"Seberapa banyak kamu benar-benar terjatuh di jalan yang memang menjadi impianmu bertahun-tahun? Atau sejak keci?"

Mungkin, kamu hanya belum terlalu banyak berusaha. Karena terlalu peduli dengan apa yang seharusnya.  


Leapt, without looking
And tumbled into the Seine
The water was freezing
She spent a month sneezing
But said she would do it again


Keberuntungan? 
Not so. A struggle heart. A hard-willing doze.


Here's to the ones who dream
Foolish as they may seem
Here's to the hearts that ache
Here's to the mess we make


**


"Apa mimpimu?"
"London, Abbey Road, sebuah brand lokal yang mampu menyentuh semua orang dengan story-tellingnya, menghabiskan waktu panjang setiap hari diantara aromaterapi akarwangi ditemani tumpukan buku-kain-buku sketsa..."
"Bisa kamu bayangkan ruang kerjamu itu?"
"Hm, entahlah, mungkin meja minimalis dari kayu pinus, wire-pad dimana kamu bisa meletakkan foto-foto momen terbaik, tanaman artifisial yang mendekati aslinya--ya, kamu tahu aku tak bisa bercocoktanam, beberapa atau mungkin satu-dua frame sederhana berisi quote favorit atau sesuatu yang cukup vintage, dengan kursi minimalis berwarna merah, dinding bata bercat putih..."


She captured a feeling
Sky with no ceiling
The sunset inside a frame

She lived in her liquor
And died with a flicker
I'll always remember the flame


"Instagrammable sekali, he?"
"Haha, said so."
"Jenis kudapan apa yang mampu menemanimu? Cake? Pastry? Mojito? Smoothies?"
"Tentunya bukan. Mendoan dengan stok cabe rawit yang aku petik sendiri dari taman depan, secangkir teh hangat."
"Oke."
"Oke, kamu?"
"Aku?"
"Iya, kamu. Ceritakan mimpimu."
"Mimpiku? Mimpiku adalah hidup saat ini. Menikmati setiap inci kesenangan yang ada. Dengan kamu--dan sebelum kamu potong--memang hanya sebesar itu. Kamu tahu bagaimana aku membedakan rasa masakan atau makanan?"
"Ehm--enak dan enak sekali?"
"Ya, seperti itu aku beranggapan sebuah hidup itu seharusnya. Bahagia dan bahagia sekali."
"Tapi, kamu bahkan tak punya mimpi...tertentu?"
"Karena bagiku, begitulah hidup itu dijalani. Hiduplah untuk saat ini. Namun bukan berarti sekedar hidup, kan?"


Here's to the ones who dream
Foolish as they may seem
Here's to the hearts that ache
Here's to the mess we make


**



Jadi, bertahun-tahun dari sekarang, kamu akan menjadi saksi apa yang aku tulis saat ini. Katamu, disini dan saat ini. Kataku, di suatu tempat dan kelak. Lalu jika kita bisa menjalani ini beriringan, dan kemudian masih ada ribuan hari ke depan. 

We can't predict our future. Just gain it.



Here's to the ones who dream
Foolish as they may seem
Here's to the hearts that ache
Here's to the mess we make


She told me:
"A bit of madness is key
To give us new colors to see
Who knows where it will lead us?
And that's why they need us"


So bring on the rebels
The ripples from pebbles
The painters, and poets, and plays


And here's to the fools who dream
Crazy as they may seem
Here's to the hearts that break
Here's to the mess we make


**


I trace it all back to then
Her, and the snow, and the Seine
Smiling through it
She said she'd do it again



Kamu memiliki daya lenting dalam dirimu. Dijatuhkan oleh opini, untuk kemudian bangkit kembali. Tidak masalah bagaimana memulainya. Selama kamu masih memiliki keyakinan bodoh dan sedikit nyala api. Besar-kecil, sedikit-banyak, menjadi begitu relatif. Pertanyaan besarnya adalah : kapan?








By the way, you know this song?












 

Come on, YES-men



The best revenge?
You know, do what really matters for your passion wholeheartedly.


**


There's always kinda yes-men ppl all around you. 'em just do what have to do. Not because of--what I called it?--fulfillment. Perhaps they still stuck on basic level at Maslow's Hierarchy of Needs.
Pfuit.
Yeah, pfuit.





Come on, yes-men. Are you still alive?

Minggu, 19 Februari 2017

A beginning : Yogyakarta





Hidup di Yogyakarta.
Bagaimana bisa kamu berpindah ke lain kota, sementara sebagian nyawamu tertinggal di sana?
Aku tak sanggup. 
"Kenapa?" pertanyaanmu sungguh retoris.
Aku menghela napas.
Rasa tenang itu mahal harganya.


**


Mencintai kota ini. Dan menemuinya adalah sebentuk terapi. 
Kembali ke kota ini. Namun mengakuinya berarti pengorbanan empati.


**


"Rasanya lautan? Coba kamu ambil sebuah cangkang kerang, dekatkan bagian cangkang kerang terbuka ke daun telinga."
"Dan apa yang akan aku dapat?"
"Debur ombak berdesir."








It's not have to be perfect. It's just to be okay. And it's okay.
Menghabiskan waktumu yang berjalan lambat, mengamati seorang pria kecil sedang sibuk memindahkan pasir dari satu titik ke titik lain, menutupi lubang tinggal seekor kepiting kecil. Itu dalam diam. Namun kamu bahkan mampu merasakan gestur bahagia terpancar sangat kuat,




"Yang dua tanpa gula, yang satu dengan gula."
"Kula pisah kemawon pripun?" (Saya pisah saja bagaimana?)
"Oh nggih pun." (Oh, oke)
Rasa sopan itu tidak selalu dipaksakan. Tata krama dan pelayanan tak selalu sejalan dengan edukasi atau latarbelakang, apalagi nominal. Itu perasaan.







Ketika tiket menuju kebahagiaan bisa ada dimanapun dalam bentuk apapun dengan harga yang terjangkau. Kamu pilih yang mana?


**


"Ini Ibu beli jamu watukan. Diminum ya Nduk."
Kamu tahu? Sesuatu yang sederhana dan tulus itu seperti pengusir hawa negatif keluar. Dan semuanya, berasal dari sugesti yang sederhana. 





**


Dan aku, tak akan pernah bosan menyusuri lorong penuh barang berdesakan semacam ini. Tak akan pernah. 
"Mambu menyan ngono, kok." (Bau menyan begini kok)
Bukan peppermint, ylang-ylang, lavender. Namun aroma cempaka, cengkeh, melati, akarwangi. Aroma yang memenuhi rongga hidung, penuh hingga menyusuri setiap neuron, diantara gending jawa yang mengalun pelan. Mistis? Candu? Kejawen? Ah, biar. Mereka tampak jauh lebih masuk akal daripada Xanax ataupun Prozac.











Dengan seratuslimapuluhribu rupiah, kamu memindahkan sepetak kehidupan ke tanah lain. Berharap ada sedikit ketenangan akan terbentuk di tanah lain itu kelak. Seratuslimapuluhribu rupiah, seharga gaya hidup lintas bistro dan kafe ternama, atau bahkan jauh lebih murah. Sesuatu yang murah, memang selalu lebih susah. Namun itu seninya, kan? Perjuangan.


**
 

Kesenangan ini seakan terhenti ke udara. Bersahut-sahutan dengan perut yang ikut merasa lapar. 
"Mau beli gorengan lagi."
"Jauh-jauh cuma beli gorengan?"
"Sebanding, karena disana aku cuma bisa mendapatkan sepotong tempe tipis yang tampak digoreng paksa dengan genangan minyak kelam."






... atau, serius, kamu masih bisa menampik lembutnya potongan ayam dan bebek yang juicy, berpadu sambal bawang super pedas, plus kenikmatan yang masih belum berakhir : tambah nasi sepuasnya? I don't think so. Kamu tak akan sungguh berkarya, ketika bahkan perutmu tak diapresiasi dengan pantas, kan? 
Masih berniat menyentuh potongan steak mahal yang overprice mungkin karena berlabel western?
Aku... mungkin tidak malam ini.


**




Terimakasih Yogyakarta, sampai jumpa kembali titik nol kilometer. 
Terimakasih untuk selalu menjadi kepingan harapan di saat semuanya sungguh tak masuk akal.









Sabtu, 04 Februari 2017

The Flowers Grow




"Hai."
"Hai."
"You've changed a lot."
"Thank's to you."


**


Kali ini kamu tampak gugup. Bahkan segelas avocado-latte tak cukup menutupi gelisah itu detik ini. Aku berusaha mengabaikannya sedari tadi, demi beberapa pendingan yang muncul di pop-up screen. Me, a workaholic one. A tough princess not waiting for any prince-charming in the daydream, huh?

"Lu baik-baik aja?"

Dan aku langsung menerima tatapan serius seketika. Oke, sinyal kuat macam provider X. Perlahan namun pasti aku mulai mematikan beberapa tab yang terbuka, kemudian menutup laptop. Sedikit terpecah, mengingat beberapa poin masih ditunggu oleh bos. Semoga tak ada intervensi dadakan diantara tatapan serius di depan muka begini.

"Gue mau ngomong sesuatu, penting."
"Ehm, oke. Go on."
"Besok gue ke Penang. Flight setengah lima."

Refleks, aku mengecek jam di pergelangan tangan. Well, sekian jam lagi.

"Duh, lu pasti belum prepare ya? Ya udah kita cari sesuatu dulu yuk. Soalnya--"
"Gue dapat tawaran di sana."



there is no reason to feel bad
but there are many seasons to feel sad glad mad
it's just a bunch of feelings that we have to hold




"Sampai kapan? Ah lu nggak cerita deh! Masak gue baru tahu sekarang??" berusaha menetralkan tone suara, meski rasanya sudah ada yang menggenang di ujung mata. Jangan tumpah!
"Tiga tahun."

Dan secangkir kopi yang telah sedikit dingin menjadi begitu menarik saat ini. Aku menenggaknya seperti itu adalah stok air terakhir di muka bumi.

"Good for you! Jangan lupa kabar-kabar yak. Apalagi kalau ketemu jodoh disana." 

Kamu diam. Shit. I hate this awkward situation.

"Tunggu gue ya."

Ah suara angin, batinku.

"Iye gue tungguin, oleh-oleh jangan lupa lah."



when i first held i was cold
a melting snowman i was told
but there was no one there to hold
before i swore that i would be alone for ever more




**




"Sehat?"
"Sehat. Lu gimana kabar? Nambah berapa kilo?"
"Aku tambah kurus ini. Kangen masakan rumah."
"Hahaha. Parah kamu. Cari makan aja pilih-pilih."

Wait. Aku - kamu?



**



Entah kenapa lagu Bad Day - Daniel Powter bisa sedemikian riang untuk ukuran 'bad day'. I mean, hari ini benar-benar buruk. Presentasi dengan klien gagal total. Mobil mendadak mati di tengah jalan hingga terpaksa diderek. PMS alias Pre Monster Syndrom (yea, my personal acronym) yang super rese hingga wajah sedemikan breakout. Couldn't ask for more.

"Mbak--"
"Nanti dulu deh, Nu.Gue lagi kesel nih!" tanpa ampun Banu--officeboy kantor--turut kena serapah sore ini. 
"Tapi Mbak--"
"Aduh apaan sih?!"

"Masih galak aja."

Darahku serasa berhenti berdesir. Kamu. Aku bahkan tak bisa berpikir akan membubuhkan tandabaca seru atau tanya disini.
"Hai."
"Hai."
"Kamu... kapan sampai?"
"Cukup lama, hingga sadar kalau cara ngomelmu masih sama."
"Ck--"



wow look at you now
flowers in the window
it's such a lovely day
and i'm glad you feel the same
cos to stand up
out in the crowd
you are one in a million
and i love you so let's watch the flowers grow



Banu? Dia sudah kabur lebih dulu.



**



"You've changed a lot."
"Thank's to you."
"Makasih sudah ditunggu. Kupikir kamu tidak cukup sabar."

Oke, aku masih berlindung diantara gelas avocado-latte, menghindar dari tatapan entahlah-apa-itu. We're best buddy, right? Or it was?

"Akhirnya datang juga, kamu. Lama sekali." kataku setelah yakin mampu menguasai tone suara dan ekspresi muka."
"Cukup, kok. Cukup untuk memastikan apakah benar jarak dan waktu benar membuktikan kalau aku memang rindu. Kamu?"

Aku yakin tanpa berkata sepatahpun mukaku yang memerah mendadak sudah menjadi sebuah jawaban.



it's such a lovely day and i'm glad you feel the same
cos to stand up
out in the crowd
you are one in a million
and i love you so let's watch the flowers grow
so now we're here and now is fine
so far away from there and there is time time time
to plant new seeds and watch them grow
so there'll be flowers in the window when we go
wow look at us now
flowers in the window