Jumat, 29 April 2016

personal touch that very personal




"Punya nomor A?"
"Aduh, nggak eh. Cuma punya pin BB nya aja."

"Pengen beli kartu lebaran, deh."
"Ngapain, broadcast saja sih. Praktis."

"Saya ingin membuat tools kit versi cetaknya."
"Wah, jangan. Nanti kita kembangkan saja versi online nya."


Hemat.
Nyaman di kantong, jauh di hati.

 
**


Saya mendadak teringat. Bertahun lalu saya sibuk berkutat mencari gambar yang lucu namun mengena untuk kartu lebaran saya. Beberapa tahun belakangnya lagi saya membuatnya. Beberapa tahun saya di sekolah dasar saya malah membuatnya untuk dijual.

Saya mendadak teringat, kilasan adegan di film Up in the Air. Yang pada saat saya menontonnya pertama kali, chemistry saya pun tidak terlalu mendalam. Dan kini saya merasakannya.



"Natalie, what is it you think we do here?"
"We prepare the newly unemployed for the emotional and physical hurdles of job hunting, while minimizing legal blow-back."
"That's what we're selling. It's not what we're doing"
"Okay, what are we doing?"
"We are here to make limbo tolerable, to ferry wounded souls across the river of dread until the point we hope is dimly visible. And then stop the boat, shove them in the water and make them swim."



Bukan, bukan perkara kalah bersaing dengan teknologi. Tidak, tidak. Ada yang lebih penting daripada teknologi. Interaksi. 
Teknologi, bisa saja secepat jet tempur. Namun kecepatan itu tak akan pernah menggantikan personal touch.




Ya, personal touch in every aspect in your life.




Lebaran tahun ini saya akan mencoba mengirimkan kartu Lebaran lagi. Semoga istiqomah dan tidak terdistraksi dengan mudahnya teknologi.

























Selasa, 12 April 2016

One fine day





"Gue suka sama lo."
"Hah?? Apaan?"

Dentuman konser musik ini sangat kencang, sampai-sampai kamu tidak bisa mendengar kalimat barusan. Kalimat yang bahkan untuk mengutarakannya butuh bertahun-tahun membangun nyali.


**


Aku sangat suka senja di sore hari, dengan rintik hujan yang tipis, dan sesapan teh tubruk. Haha, aku memang bukan bagian coffee-lifestyle. Sahabat setia saat jam-jam melamun sementara menunggu traffic Jakarta yang macet, ya hanya teh tubruk ini. All the way from Wonosobo.

Jakarta penat. Jakarta pekat.
Sudah berapa lama ya aku berada di kota ini? Lima? Enam? Ah, enam setengan tahun. Cukup lama juga. Enam tahun yang lalu aku hanyalah anak cupu kemarin sore yang bahkan baru pertama kali melihat gedung bertingkat nyaris mencakar langit Jakarta. Ya, norak.

Senorak itulah kira-kira saat aku mengenalmu. Perkenalan lift yang aneh, kaku, dan klise. Tak disangka ternyata aku akan mengalami salah satu adegan khas FTV sat pertama kali mengenalmu.

It's been a long time since you called me
You got me feeling crazy
How can you walk away,
Everything stays the same


**


Ding.

Sebuah lift terbuka. Dengan terburu-buru aku masuk ke dalamnya, masih menyisakan keringat pasca berlarian turun dari metromini. Sial, terlambat! Lantai berapa ya? Tanganku menekuni tombol angka, hendak memilih lantai yang kutuju. Eh, tapi kok--

Keringat dingin mulai mengintimidasi kemeja yang sudah kusetrika sepenuh hati semalam tadi. Mendadak blank seketika. Otakku macet. Aduh, lantai berapa ya?

"Mau ke lantai berapa Mas?"
"Eh, ehm--ini--lantai--" ya ampun! Aku bahkan tidak hapal lantai berapa! Lupa!
"Hm, mau ke kantor mana?"

Untungnya kali ini otakku bekerja baik,

"Mau ke kantor advokat Benny Sinaga, eh--Mbak."
"Oh, Mas salah lift. Untuk lantai kantor advokat Benny Sinaga seharusnya di lift sebelahnya. Mas turun saja ke lantai dasar, lalu pindah lift."
"Oh-eh, makasih, Mbak."

Ding.
Pintu lift terbuka.

"Saya duluan, Mas."

Detik itu aku baru menyadari, setelah otak bekerja, jantung saya kembali ke ritme standarnya, orang baik yang membantuku barusan adalah wanita yang...menarik. 

Siapa dia? Gumam saya.
Dan sepertinya semesta membantu saya detik itu, mata saya tertumbuk pada sebuah kartu nama yang terjatuh di lantai. Saya memungutnya. 

Renata Vidya.

Saya tersenyum, sungguh seperti adegan sinetron berbudget rendah. Terimakasih semesta.



**



Baby I will wait for you
'Cause I don't know what else I can do
Don't tell me I ran out of time