Minggu, 25 November 2012

Bandung in de taak : Oude & Goed



Kalau tugas negara, ke Bandung pula, apa yang bakal dicari?

Kalau saya, makanan. 
Semakin aneh, semakin bagus.
Minat saya akan makanan, kadang-kadang sedikit berbanding lurus dengan atmosfir 'langka' dari arsitekturnya.
Semakin kuno, semakin menarik...

**

Karena saya menginap di Naripan, sementara tempat bertugas adalah di Landmark, jadilah kadang-kadang suka jalan pulang pergi sepanjang Braga. Satu yang paling menarik bagi saya di sepanjang jalan itu adalah sebuah tempat makan tempo dulu, dengan tingkat kejadulan cukup tinggi. 

Sumber Hidangan, Jl Braga 20-22.


Yang dijual? Banyak. Menu jadul dengan bahasa Belanda. Top request nya adalah sederetan menu ice cream yang manis luarbiasa, seperti Snow White ice, Fosco. Untung ada penawar berupa teh tawar hangat, karena saya tidak terlalu suka manis. Untuk beberapa menu beratnya ada menu western seperti beef steak, hot dog, spaghetti. Menu eastern-nya? Well, menu nasional Indonesia macam Nasi goreng, dan banyak lagi :)
Menambah kejadulan, pelayannya pun bapak-bapak hampir limapuluhtahunan... Yang membuat saya jatuh cinta sebenarnya interiornya yang jadul aseli. Bak dilempar ke masa lalu!


Deretan kursi yang nyaman, bikin lupa waktu


 susunan lampu gantung yang semi temaram


 Dari sudut ini, aktivitas kendaraan yang lalu lalang sepanjang Braga bisa diakses dari balik jendela. Back to the past!





 Sedikit tidak terawat, namun entah kenapa plafon ini justru menambah nilai heritage bangunan


 Bagian yang menjual kue-kue jaman dulu. Harganya lumayan, karena bahan-bahan dan cara pembuatannya masih sangat tradisional. Sebut saja soes, bokkepoot, chocolade rotajes. 
 Deze buitengewone...


Roti sederhana minimalis ini, buat saya adalah street food yang sangat menolong kegilaan perut saya yang suka berulah di tengah malam. Namanya roti kukus. 

 Sangat nikmat dilahap ketika hangat. 
Puffy. Tasty. 
Gurih dengan olesan butter, roti kukus ini ada berbagai rasa. Nyum!


 Sangat cocok, dinikmati hangat-hangat di udara Bandung yang brrr...


Sekilas tadi sambil lalu saya di Bandung, yang kebetulan sedang minim hiburan saking keterbatasan waktu. Then, sayonara!

 Landscape Bandung dari atas kereta api, sekilas mengingatkan saya pada Ubud












Aku suka makan, masalah buatmu?





Aku suka makan. Masalah buatmu? 
Aku tak peduli mau macam apa makanannya, tempatnya, atau atmosfernya, yang penting makan. Seperti yang kamu bilang, makanan buatmu itu cuma dua : enak atau enak banget. 
Tidak ada justifikasi khusus bahwa perut harus diisi di tempat A, dengan menu B, dan dengan C.

*** 

Pertama kali aku mengenalmu dari suatu angkringan di pojokan jalan.
Ya, angkringan.
Angkringan sederhana, dengan lampu teplok temaram, nyamuk celamitan, dan guyub yang spontan. Dengan celana pendek, kaos lawas extra satu ukuran, sandal jepit, sendiri--mencomot bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, dan wedang jahe. Tak peduli keriuhan, tak peduli kepengapan yang ditimbulkan asap rokok bersahut-sahutan. Aku lapar. Masalah, buatmu?


Entah seasyik apa bentukku saat makan, sampai suatu titik aku menemukan perasaan ganjil--merasa diamati. Sebisa mungkin tak peduli, aku menambahkan kembali dua potong mendoan hangat di atas nasi teri yang masih separuh jalan.
Hingga, lama-lama gerah pun menjadi jengah. 
Entah naluri mana yang menggiring, hingga mata tertumbuk ke sepasang mata lain, yang balas menatap dengan minat--err...atau mungkin lebih tepatnya--heran. 

"Laper, Mbak?" tanyanya, lebih ke arah geli.

Aku tak mengenalmu. Bukan orang daerah sini pula. Jadilah aku hanya sekedar membalas dengan senyum ala kadarnya.

Aku lapar, masalah buatmu?

"Piro, Mas?"

Buru-buru aku mengeluarkan gumpalan uang dari dalam saku celana. Uff, mau hujan!

"Pitung ewu, Mbak."

Selembar uang sepuluhribuan bertukar manis dengan tiga lembar seribuan yang tak kalah kucel, dan aku buru-buru berlalu, meninggalkan pandangan gumun-mu yang masih terasa mengikuti.

*** 

Setiap orang butuh pelarian, kan? 
Pelarian dari rasa bersalah, takut, stres, dan entah apa lagi. Seperti kali ini. Malam yang stres. Malam yang mawut. Efek sempurna ulah bos besar yang memberikan draft deadline dalam jangka waktu satu kali duapuluhempatjam. Errr... ralat, kurang dari duapuluhempatjam, karena hingga saat ini menunjukkan jam sembilan seperempat, aku masih duduk di pojokan lounge. Bengong, blank, sementara minuman dingin warna-warni di depan yang masih utuh malah jadi seperti mengejek. Sudah tiga jam berlalu, dan screen di depan mata samasekali kosong, tidak terisi bahkan oleh satu huruf pun.
Tempat ini, adalah lounge favorit untuk pelarian dadakan. Favorit karena tuna sandwich-nya yang teristimewa.Tempat ini adalah pelarian, ketika otak sedikit perlu privasi dan badan sedang tidak ingin terlibat personal space yang terlalu dekat dengan orang terdekat sekalipun. 


Dan ya, berpikir terlalu lama selalu menguras energi. Usus mulai mencerna hal semu, berteriak-teriak untuk segera diisi. Well, tuna sandwich's time.
Mata mulai jelalatan mencari sosok pramusaji yang rada-rada nganggur, mengingat malam ini entah kenapa lounge ini agak padat oleh manusia. 
"Mas!"
"Silakan, Mbak."
List menu diletakkan di meja.
"Tuna sandwich, satu." tanpa membuka list menu samasekali—saking hapalnya—aku mengembalikannya pada si pramusaji.
"Loh--"
"Wah--"

Feeling my hands start shaking
Hearing your voice I’m overjoyed

Dan untuk kali kedua ada dua pasang mata beradu.

I’m sorry but I have no choice, you’re only getting better
Maybe you have your reasons
Maybe you’re scared, you’ll be let down


It happen.

*** 

"Nih."

Gulali. Bolang-baling. Telur merah. Sate kikil.
Dengan agak semena-mena kamu menjejalkan kombinasi makanan tadi di pangkuanku. 

"Sebegitunya aku tampak kelaparan, ya?"

Selarik cengiran membalas sambil mengangkat bahu. Sementara mulutnya tak kalah sibuk mengunyah bolang-baling.
Sekaten hari kedua. Selalu penuh. Selalu bergairah. Berburu jajanan murah meriah. 
Entah berapa periode Sekaten yang aku absen. Event wajib masa kecil yang kini berlalu begitu saja. Tergerus dengan hal-hal lain yang konon lebih penting. Meski dalam hati, kadang ada selipan doa : ijinkan aku datang kembali ke Sekaten ini. Dan doaku terkabul. Kali ini, menyambangi Sekaten sebagai perhelatan masa kecil, aku tak sendiri. 

"Bianglala, yuk!"

Tanpa tedeng aling-aling, kesigapan yang mengejutkan, kamu memasukkan semua jajanan di atas pangkuanku ke dalam tas. 
Aku kaget. Aku kehabisan kata-kata. Aku terkena serangan jantung dadakan--ouch.
Dengan semena-mena kamu menggandeng tanganku, setengah menariknya, tanpa aba-aba. Menunjuk-nunjuk bianglala yang berputar ala kadarnya, hiburan murah rakyat semesta. Tertawa.
Kamu...terbuat dari apa?



Oh then maybe, maybe if you hold me baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed

*** 

Gemerisik rintik hujan yang samar-samar, malu-malu untuk mengguyur jalanan, musikalisasi yang pas untuk menemani senja. 

"Lama sekali, yaaa."
"Kenapa, kamu sudah lapar ya?" dia tampak begitu geli demi melihat tampangku yang sudah semi kusut. Yah, kelaparan.
"Iya, aku lapar. Masalah buatmu?"

Kamu langsung tertawa, 

"Tetap, tidak berubah. Hehehe."
"Monggo, Mas, Mbak."

Dua piring beralas daun pisang semi pincuk,  telur bebek, ayam suwir, areh, sambel goreng krecek kacang tolo, menyelimuti nasi pulen yang mengepul pekat di udara. Gudeg.
Tanpa banyak kata, sesendok demi sesendok mulai beradu cepat masuk ke mulut. Panas, lapar, pedas, sementara hujan masih mengguyur. Nikmat!

"Hmmmmm..."
"Enak?" kamu bertanya, dengan heran, seperti beberapa tahun lalu.
"Iya!" jawabku dengan terus menyendok nasi. Persis seperti kuli yang dipaksa membangun candi dan tidak diberi makan tigapuluh hari.
"Bu, boleh tambah suwiran ayamnya?" dan, aku makin tak tahu malu.
Si Ibu cuma mesam-mesem, lalu mengangguk. 

Aku makan kian lahap. Hingga aku merasa ada yang memperhatikanku. Kamu. 

"Kok nggak dimakan? Enak lho." aku menunjuk piring nasinya yang baru setengah dimakan, dengan mulut masih setengah mengunyah.
"Beberapa tahun kedepan, aku bakal kangen lihat ekspresimu waktu makan seperti ini..."


Aku tahu, mungkin aku harusnya berhenti makan. Dan menanggapi perkataanmu barusan dengan lebih serius. Tapi maaf, aku tak bisa. Aku terus mengunyah, minum seteguk, lalu mengunyah lagi. Seakan-akan ini adalah kesempatan terakhir aku menyantap makanan selezat gudeg. Maaf, jika tidak terus mengunyah, aku akan menangis. Dan itu pasti akan lebih memberatkanmu pergi.

Ini, deja vu.

***

And maybe, maybe let me hold you baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed
  
Happy birthday, dear.
You're a box of chocolate. Surprising.
You're a whole package of 'nasi teri' set. Mix my feeling, indeed.
Stay hungry, stay lovely.
For the next 1001 culinaries trip ahead, wait for me
Happy birthday, dear.

Sekotak cokelat. 
Dua voucher buatan tangan—tulisan tanganmu—bertuliskan : voucher makan angkringan sepuasnya, untuk yang berulangtahun hari ini.

"...beberapa minggu lalu ada yang kesini, Mbak. Pokoknya kalau Mbak dateng, Mbak bebas mau makan apa aja...Oya, selamat ulang tahun ya, Mbak." 

Mas-mas angkringan nampaknya juga kok kamu bodohi, ya? Aku tersenyum simpul. 

" Bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, sama wedang jahe ya, Mas!”
“Waduh, lapar Mbak?”

Iya, masalah Mas? Dalam hati aku membatin setengah geli.
Kalau buat kamu, kelak aku lapar itu juga akan jadi masalahmu :)



And if you want, we’ll share this life
Anytime you need a friend, I’m gonna be by your side
When nobody understands you, well I do



Kamis, 22 November 2012

Me vs user #1


Kata siapa jadi HRD gampang?

***

"Gimana kandidatnya?"
"Aduh, gimana yaaa....orangnya bagus sih, pinter, tau sistem...tapi, dia nanya jenjang karir ini..."
"Lho, bukannya bagus? Berarti kan dia ada visi misi ke depan, mau maju. Jenjang karirnya kan luas sekali, Pak. Secara psikotes, kualifikasi dia pun masuk."
"Iyaa sih, tapi...agak susah. Takutnya susah diatur..."
"Maaf Pak, saya agak tidak sependapat. Soalnya, bagus dong kalau dia ada visi misi ke depan. Hmm, saya tanya deh, Anda mending mana, kandidat yang pas-pasan tidak banyak maunya, tapi efeknya anda hipertensi gara-gara dia nggak paham mau dan instruksi anda, atau...yang cepat mengerti, bisa diandalkan, tapi dia harus diarahkan lebih keras karena visinya dia yang cukup jauh ke depan tentang karirnya?"
"..."
"Anda pilih yang mana, pak?"
"Yang pas-pasan, sih Bu. Tapi pusing juga kalau saya sedikit-sedikit harus mengajari dia ya?"
"Tergantung anda sih, Pak."
"Hmmmm....ya sudah deh, Bu. Saya coba deh, dilanjut aja ke tahap selanjutnya yaa. Saya cuma kepikiran dia tanya jenjang karir."
"Begini deh, kalau misal dia tanya jenjang karir, dan anda tidak bisa jawab, silahkan alihkan ke saya, saya yang handle.
"Oh, oke. Begitu saja."

END.

Perseteruan di suatu siang, me vs user.

Kata siapa jadi HRD itu gampang? Sama beratnya seperti marketing, menjual kualifikasi kandidat kepada user, dibebani dengan target. Tanpa kandidat maka SDM kosong. SDM kosong berarti bisnis tak berjalan. Yang dijual pun, adalah hal yang abstrak. Kualifikasi diri. Tidak semua user berpikiran moderat. Tidak semua user berpikiran praktis. Masing-masing punya personifikasi masing-masing terhadap tiap anak buahnya, kan?

Tarik-ulur, itu yang mungkin saya lakukan. Terutama untuk alasan-alasan yang agak 'ambigu' biasanya saya counter balik :p. Bukankah, tugas saya untuk menemukan sosok yang tepat pada suatu posisi, eh?

Dan sekarang, menjelang akhir tahun ini, adalah titik krisis saya, memastikan dan harap-harap cemas, apakah rekruitan saya bisa long lasting dan memiliki status lebih dari kontrak? :o


 

Hectic-pathetic!


05.19 PM

Waktu yang SEHARUSNYA saya sudah pulang dan bergelung selimut hangat, dengan secangkir kopi, menikmati Adele menjerit-jerit, maybe.

Faktanya,
Jam ini saya masih berada di kantor, dengan berbagai level keriweuhan yang merajalela. Pending asesmen, list karyawan yang belum tersentuh sistem, dan entah apa lagi.

Saya ingin berteriak kencang-kencang, dan...saya mendapati hanya sebuag huruf  F yang saya jadikan status blackberry messenger. Pathetic.

***

Berbagai hal, saya menyadari bahwa....semua orang memiliki kekhawatiran masing-masing, yang mungkin bagi orang lain adalah tidak penting. Seperti ini,

"Aih, jerawat kamu besar sekali! Kalau saya jadi kamu pasti saya sudah badmood seharian!" - seorang teman, mengucapkan itu di depan muka saya.

Faktanya,
Ada 1 titik jerawat kecil di dahi saya, KECIL, dan entah dilihat dari sudut mana, teman saya melihatnya bak GAJAH. Saya hanya tertawa--alih-alih heran daripada jengkel.
Well, otak tiap orang tidak ada yang sama.

***

"Kamu, enak banget, sih! Kerjaan kamu denger MP3 terus, duduk, denger curhat, ketawa-ketawa...."

Yeah, another jealousy.

Mengherankan. Hal, yang dibilang rekan saya sebagai sesuatu yang 'menyenangkan' ini, sebenarnya adalah usaha keras saya untuk dapat selalu menikmati apa yang saya kerjakan. Bukan hal yang mustahil, saya ber-poker face ria, kok.

Faktanya,
Saya meliwati hari yang berat. Bukan secara fisik, namun secara mental, dimana saya harus bisa bersikap amat sangat profesional menampung keluh-kesah orang lain, tanpa menghakimi. BERAT, karena saya sangat hobi memberikan justifikasi dan kritikan kepada orang lain. Mendengarkan, dan memastikan apa yang dibutuhkan orang itu : solusi, perspektif baru, atau sekedar didengarkan.

***

"Wah, enak ya.... pacar kamu sering dateng! Iriii...huhuhuhu." - seorang teman, sama-sama pelaksana LDR.

Another :)

Faktanya,
Impas, ketika saya menjalani...yah...dua tahun lewat LDR, saya dimana dia entah kemana, jarang telepon (karena dia tidak suka telepon sering-sering, beda zona waktu pula), agak susah BBM-an (jam kerja yang sama-sama menjijikkan), dan sebagainya. Sementara yang lain mungkin amat sangat bisa sekali in touch dengan suara atau media pesan. Well...

***

Sawang-sinawang ya. Isi kepala tiap orang tak pernah sama :)
Selamat sore, selamat beradu dengan kemacetan dan guyuran hujan!








Minggu, 18 November 2012

It's Simple to Simplify a Distance


"Kapan terakhir bertemu?"

Pertanyaan itu lebih mirip antah-berantah kedengarannya. Terutama untuk sekarang, ketika usia jarak menjadi makin 'dewasa' dan bisa berjalan sendiri.




***

Nyaris tiga tahun, minus hari-hari pertemuan, jarak menjadi suatu rutinitas. Suka tak suka, mau tak mau, itulah yang dijalani, kan?

***

"Lalu, kalau ketemu, kemana aja?"

Kemana saja?

Kemanapun, adalah 'sah' dan bermakna kalau bersama-sama denganmu. Sedekar coffee-sharing, ngobrol kesana kemari, berebut sebatang cokelat, menertawakan kekonyolan masing-masing... adalah cukup. 
Karena waktu adalah mahal ketika jarak mulai berulah.
Karena bersama adalah harta ketika jarak mulai menjadi anomali.

***

Sederhana.
Aku butuh sesuatu yang sederhana.
Sesederhana berbagi basreng pedas di tengah malam.
Sesederhana memainkan Angry Bird di sela-sela film midnite.
Sesederhana "Selamat pagi."

***

Kamu, have a safe flight. Let's meet up soon, just for one or two cup of tea or hot coffee and pieces of story :)

Minggu, 11 November 2012

Morning Greet from A Stranger


07.00
Sudah bangun? Semoga harimu menyenangkan.
Satu slice garlic bread panggang, mayonnaise, secangkir teh chamomile hangat. Hari ini nampaknya banyak dealing besar yang menunggu untuk dibabat. Oh—jika boleh memilih ya, ingin hari ini dan beberapa hari kedepan terlompat sekaligus, dan voila! It’s weekend already. Ngimpi kamu, nak *selftoyor*
Oke, handbag Camel, ketajaman Loubotin, suit eksekutif. Get ready!

**
Ada berbagai cara untuk membuat hidup berwarna, hidup, dan bernapas. 1 album John Mayer, sekotak lemak Chocobars, sexy thing La Senza, atau yang lain, atau yang lain. Semua bebas memilih. Menjadi berbeda ataupun beranomali, kadang pun melelahkan. Dalam anekaragam pilihan hidup—well, alhir-akhir ini ‘hidup itu pilihan’ menjadi quote beberapa teman….tapi saya bilang itu excuse :p—lebih benar menjadi sesuatu yang membuat nyaman. Dan itu berarti tidak melulu ‘menjadi diri sendiri’. Menjadi diri sendiri selalu nyaman po? Belum tentu.
11.30
Selamat siang. Jangan lupa makan.

**
Kadang-kadang sungguh tak mengerti mau orang yang disebut bos itu seperti apa, loh. Di beberapa scene, yang namanya bos itu bisa jadi memiliki swing mood, atau ADHD, atau multiple personalities, dan seperti Miranda Piers—the Devil wears Pra—umm, bloody-bored-longsleeve.
Sedetik pertama mengkoreksi semua kerjaan dengan coretan merah dan marah, sedetik kemudian sudah ber-tralala-trilili dengan kondisi mood bawahan yang sudah tercabik-cabik sedetik sebelumnya…..
Well, pembunuhan karakter *efek dramatis piano Mozart*
Even—eww—beda tipis juga sih, dengan yang namanya profesionalitas. Kata yang sakral—diulangi lagi—profesionalitas. Dengan hari aktif 10/24 dan 6/7… perlu self mind setting biar tetap on the track dan tidak gila menghadapi semua sendika si bos. 

1.       Jangan pernah dimasukkan hati (wejangan bos di awal berpartner dengannya)
2.       Bos selalu benar
3.       Jika bos salah, kembali ke poin kedua
4.       Nothing to lose

No no no. Being pro is number one, tapi kali ini tidak ada lagi men from mars and women from venus. Yang ada, women from mars. It’s weird. Yea… I know.
18.30
Hati-hati di jalan ya, take care. Semoga selamat sampai tujuan.

**
Hidup bukan celana dalam. Jadi berhentilah mengeluh, kemudian bingung memilih, namun jadi menyesal. Risiko, adalah satu paket seumur hidup.
21.00
Selamat malam. Semoga mimpi indah…
Six-to-nine greet from a stranger