Sabtu, 25 Februari 2012

Apakah Kamu, Penjinak Bom?



24 jam dalam sehari. 7 hari dalam seminggu.

***

"Oke sayang, sudah dulu ya... Mau meeting nih. Nanti aku sambung lagi ya! Love you."
"Tapi--"
Klik.
Nanti aku sambung lagi. Itu berarti sehari kemudian. Atau mungkin dua hari kemudian.
Hari pertama, ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima, dan ke-enam, bahkan ke-tujuh dalam satu minggu.

***

Menumpuk berkas tinggi-tinggi. Dengan harapan aku bahkan tak bisa melihat jam yang terpampang besar-besar di depan muka. Untuk apa? Agar aku lupa. Ini sudah masuk jam istirahat.
Semua line komunikasi. Semua tanpa terkecuali. Memisahkan diri dari udara luar, dengan tegas masuk ke dalam laci rapat-rapat. Serapat hati yang dijaga agar tidak terlalu keras terikat hingga remuk, ataupun terlalu halus hingga lolos meluncur mulus. Aku, memperlakukannya mirip seperti porselen cina di pecinan. Cantik, terjaga, berkelas, tanpa mengijinkan jari manapun menyentuh. Namun ketika benda itu mencapai jemari, baru sadarlah mereka, ini porselen cina di pecinan dengan harga mahal. Mahal dan tak bisa diperlakukan sembarangan.
Menghembuskan napas dalam-dalam, menjaga sesuatu yang hampir saja terjatuh di sudut mata. Inhale-exhale. Mirip ibu-ibu muda di rumah sakit tempo hari yang hendak melahirkan. Inhale-exhale. Barangkali sudah hampir bukaan ke-lima, enam, tujuh! Ini adalah bom waktu yang ingin segera dilahirkan.
Oke. Profesional.
Satu. Dua.
"Hei, ayo! Makan dimana kita siang ini?"

***

Ada yang bilang, setiap orang punya banyak kepribadian. Dual personality. Atau...multiple personality.
Kelainankah?
Tanya seseorang di suatu hari yang panas.
Dalam hati aku tak sepakat. Nike Ardilla jelas-jelas tahu, bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara. Akupun, memainkan peran dalam panggung sandiwara itu. Hm... kalian keberatan? Oke, aku perhalus. Aku, punya banyak kepribadian yang aku mainkan di setiap scene dalam hari-hariku.
Di lapangan, kita memiliki cara masing-masing untuk bisa memenangkan pertandingan. Setiap bola yang datang, memiliki trik berbeda untuk menghalaunya. Sama saja. Aku hanya mencoba menyesuaikan setiap bola yang digulirkan, menyambutnya dengan tendangan bebas, namun bisa jadi mendadak berubah menjadi tendangan sudut, lalu pinalti, selama bukan off side. Seperti peran yang sedang aku mainkan di siang terik, kali ini sebagai diriku sendiri.
"How's life?"
Sebuah prolog basa-basi seorang teman. Yang rutin mengkonsumsi cerita yang aku perankan setiap hari. Tiga kali dalam sehari. Selayaknya minum obat.
"Oranye."
Oranye. Adalah warna yang aku gunakan untuk mengilustrasikan detik ini sebagai hasil akhir. Mewakili multikilosekon sebelumnya.
"Belum akan menjadi merah, kan?"
Bahkan tiramisu di depan ini tampak lebih buruk daripada kotoran kuda di pinggiran jalan.
"Akan. Segera."
Bagi kebanyakan orang, mungkin ini adalah saat yang paling pas untuk sekedar merunduk, atau bahkan berlari menjauh mencari bala bantuan. Namun seseorang di depanku tidak. Dia menunggu. Seakan-akan dia adalah penjinak bom terhebat yang khusus diturunkan pasca insiden 9/11.
3 kali dalam sehari. 21 kali dalam seminggu.

***

" ... "
" ... "
" ... "

Semakin lama, aku semakin mahir bahasa kalbu. Bicara dalam diam. Tidak dengan seseorang yang tak kalah diamnya di ujung telepon, namun dengan diriku sendiri. Menjadikan aku menjadi sedemikian intens dengan diriku, bukan dirinya. Ini deja vu.

Tuhan, tolong kirimkan seseorang yang bisa menemaniku setiap detik, tanpa harus aku yang lebih dulu memahaminya...

Multigigasekon. Dan masih bertahan disini.
Omong-omong, diluar hujan cukup deras. Hari ini adalah hari ke-enam dalam satu minggu. Dan warnaku tidak beranjak dari oranye.

***

Senin-Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-termasuk Sabtu-dan Minggu.
Pukul tujuh pagi hingga duabelas siang.
Duabelas siang yang berpindah hingga angka lima sore.
Lima sore menggerus rotasi. Dan sepuluh. Sebelas. Dua belas malam.
Dua belas malam yang menjelma menjadi subuh yang teduh.
Resmi sudah sebuah benda yang menemaniku lebih darimu, hanya bisa berfungsi sebagai benda mati. Tak berfungsi. Sunyi.

Tampaknya ada tumpukan lemak yang mulai menggantung disana-sini. Hmm. Dan...apa ini? Kamar ini lebih mirip kapal pecah sisa pembajakan. Apakah hanya perasaanku saja?
Seseorang mengetuk daun pintu dengan cukup keras di luar sana. Giliran daun telingaku mendekat.
"Hei, sesi ketiga dalam hari ini. Secangkir kopi?"
Tok.
Aku membalas seruan dari luar sana dengan satu ketukan.
"Apa warnanya?"
Dasar, tetap saja dia berseru.
Tok. Tok.
Aku menjawab dengan ketukan berikutnya. Yang artinya :
Belum beranjak, dari oranye. Dan sedikit bergeser menjadi kemerahan.
"Oke."
Well, tampaknya dia benar-benar penjinak bom waktu.

***

24 jam dalam sehari. 7 hari dalam seminggu.
3 kali dalam sehari. 21 kali dalam seminggu.
Aku masih berharap, bom waktu ini masih memiliki penjinak yang handal. Dan jangan sampai itu adalah dia, bukan kamu.


Senin, 20 Februari 2012

Kota Pelangi


Semua orang di kota ini, selalu berkata bahwa warna-warni adalah bagian yang ceria. Menggairahkan dan bergelora. Dengan reriuhan suara burung menyambut hari. Seruan para pedagang berjajar di pasar pagi. Memeriahkan hari sejak dini. Menjual kemewahan, persaingan di antara nyonya, dengan gemerincing gelang, dan tapal kuda beradu aspal. Meninggikan dagu demi pengakuan tertinggi.
Tapi hal itu, tak berlaku untuk Vo, wanita kelana.

Masa lalu. Tak terbatas masa. Bebas.

Hanya itu yang bisa kugambarkan. Langkahnya yang ringan, dengan iringan desiran angin malam. Seolah menjawab,

Hei. Aku, bukanlah pelengkap cerita. Akulah inti, dimana semua hal bernadi. Disini.

Ringan. Tak berbeban. Mengalir perlahan.

Itulah yang terlompat keluar dari tiap kali aku terpana. Dia, bukanlah seperti wanita kebanyakan. Lugu, tapi bukan pemalu. Berani, namun tak tinggi hati. Tanpa perlu percikan emas, selera aristokrat yang sombong, ataupun panji-panji penegas. Dengan caranya, ia mampu memikat pandangan. Aku, bukan mereka. Anomali dalam gambaran raksasa yang terstruktur rapi, seperti di kota ini, tak kan mampu menangkap detailnya, menjadikan Vo hanya sebatas ilusi.

***

"Kamu siapa?"
"Aku siapa? Sudah hampir tiap celah kau memandangku dari tumpukan jeruk dan karpet, dan kau masih bertanya, aku siapa..."
Jawabannya serupa senandung. Bernyanyi indah di tengah mendung yang menggantung. Sementara aku, diam dan menjadi canggung.
"Kenapa kau berbeda?"
Hanya senyum yang tersuguh disana. Dan aku hanya mampu terpana.
"Kenapa aku berbeda... Aku rasa, aku tak merasa membedakan diriku dengan mereka. Apa yang tampak dari setiap celah karpet yang bolong itu--tempat kau mengintipku disana--bukanlah karena aku sengaja 'berbeda'."
"Tapi kau bisa ditolak dari sini. Pergi jauh dan tinggal menjadi mimpi..."
"Itu hak mereka. Apa yang salah dengan menjadi berbeda? Haruskah seseorang mengorbankan dirinya hanya untuk menjadi sama? Demi selembar pengakuan? Bahkan kalaupun mereka memilihku hanya sebatas mimpi, itupun memang akan terjadi."
Aku diam. Vo diam. Yang membedakan kami adalah dia tetap dengan senyum manisnya sementara aku tidak.

***

Kota ini berwarna-warni. Tapi hanya sekedar warna-warni yang mencoba seperti pelangi. Indah di luar, tapi hanya tampak sekejap mata. Kota pelangi ini bisa menjadi sekejam es. Tanpa ampun. Apalah arti sebuah anomali seperti Vo, dengan gemerisik gaunnya yang menyentuh rendah. Dengan konsistensinya tanpa alas menapak tanah. Dengan kehalusannya menyapa ramah.
Kota ini berwarna-warni. Namun hanya sebatas sampul suatu cerita.
Anomali yang terlalu indah bagiku, dan terlalu naif untuk kota ini. Vo tidak mendapatkan tempat di kota pelangi, namun mutlak, dalam ruang hati ini sosoknya telah berakar sempurna  hingga ke ujung hari.
Vo yang tenang, tak bergejolak. Begitu sederhana aku membingkainya.
Dan disinilah cerita ini berpijak.


Minggu, 19 Februari 2012

Mari membicarakan hari



Mari duduk.

Ya, benar. Mari mulai membicarakan hari.

Hari apa?

Entah ya. Mau kemarin, hari ini, besok, lusa, lima hari lagi? Terserah.

Ehm. Baiklah. Aku ingin memulai. Hari ini panas ya.

Umm--basi. Apalagi jika kau melanjutkan frasa itu dengan :
Apakah kamu membawa payung?/Untuk apa?/Untuk memayungi hatimu...
Ergh. Tampaknya kau terlalu banyak mengkonsumsi komedi di saluran itu.

Oke. Telak. Kau mendepakku dengan telak. Dan ya, aku tak memiliki cukup banyak topik disini.

Hei. Kali ini, kita sudah berhadap-hadapan. Kau dan aku. Kau di depan mataku. Apakah hari ini hanya berakhir dengan aku tak memiliki cukup banyak topik disini? Jangan bercanda.

Sungguh, terlalu banyak yang terlewat. Cukup lumayan yang terlupakan. Harimu disana, detikku disini. Dipisahkan ombak dan sesimpul tugas.

...dan dipersatukan bulan. Bulan yang sama, yang menggantung di atas ubun-ubun kita. Lupa?

Tidak. Tapi aku tak punya topik untuk dibagikan. Tak sedikitpun.

Kenapa?

Aku tak pandai bercerita, merangkai kata.

Aku tak perlu cerita, atau memohonmu merangkai kata.

Lalu untuk apa aku disini? Dihadapanmu?

Kau, menemaniku. Menghitung hari yang dengan senang hati akan kunanti.

Hari apa?

Di suatu hari, dimana kita tak lagi terpisah ombak. Atau sesimpul tugas. Atau sinyal yang melakukan konspirasi. Atau jadwal flight yang selalu sold out. Atau...kamu yang bungkam untuk bercerita.






Sabtu, 18 Februari 2012

Dengan kamu : A-Z


Ini adalah malam minggu. Sore menjelang malam minggu. Dimana gerombolan muda-mudi berpadu. Diantara gemerlapan kota yang disinari lampu. Dan aku, berada dalam ritual masa lalu. Bersamamu.

***


Aku percaya kamu, dan menghargai mitos. Lalu haruskah aku memilih?

Aku orang Jawa. Kamu orang Jawa. Tanpa terlintas pentingnya sukuisme dalam hidup kita.
"Ayo ke Prambanan."
Ragu di tempat. Bukan karena jauh. Bukan karena panas. Bukan. Aku takut, putus dengan kamu.
"Nggak mau." bersikeras aku menolak. Dan kamu tetap memaksa.
"Setelah ke Prambanan kita ke Boko..."
"Kata orang, pasangan yang ke Prambanan bisa putus--"
"--dan kalau ke Boko bisa awet. Makanya kita ke Prambanan, terus ke Boko."
Kamu, dengan kengeyelanmu. Dan aku, akhirnya setuju. Dengan busway, serasa pelancong dari negeri seberang. Bergandengan, bak turis. Sementara di rumah, orangtua geleng-geleng kepala, atas ulah anaknya yang melawan pamali.
Diantara reruntuhan batu, aku terdiam. Tanpa bermaksud membengal, namun bukan candi ataupun mitos yang membuat suatu hubungan kandas.



Ini seperti perjalanan menembus batas. Masa depan ada di ujung sana. Dan kita, memulainya dari sini.

Pukul 15.00.
Jam kuliah terakhir sudah usai. Dengan tugas menggunung, berharap semua akan tergulung. Kamu, menunggu di depan. Tanpa rencana, tanpa acara.
"Ke pantai, yuk!"
Hanya bisa mengiyakan setengah tak yakin.
"Emang tau, lewat mana?"
"Udah, ikut aja."
Dan kita, kamu dan aku, melewati jejalanan selatan. Kita, kamu dan aku. Hanya ada kita, dan ombak kecil. Romantis? Bukan. Ini lebih dari romantis. Tugasku benar-benar tergulung, dengan ombak yang menari-nari kecil. Mengukir jejak, di atas pasir. Menikmati senja yang berparade. Semarak semburat senja. Kita, kamu dan aku. Memandang tenggelamnya matahari, di ujung sana.



Kelak aku akan menjadi, seseorang yang memasak sarapnmu tiap pagi

"Kamu masak ya."
Oke. Ini bahkan jauh lebih susah daripada sekedar melafalkan kata cinta. Meracik bumbu, beradu riang dengan sendok dan garpu. Mengiris bawang serupa menangis. Dan disanalah aku. Di dapur, lengkap dengan penggorengan, pinggan, dan udang. Sementara kamu menunggu di samping sambil tertawa riang. Kikuk, takjub. Bagaimana semua bahan ini bisa aku racik sempurna? Setengah jam. Satu jam. Hingga tersaji di depan mata. Sendokmu mulai beradu di piring, sementara aku hanya bisa menggigit bibir.
"Enak." dan terulas senyum jahil.
Tahu? Itu lebih berharga dari apapun.



Gemerlap ada di bawah sana. Tapi aku tak butuh gemerlap itu. Aku hanya butuh kamu, sebagai gemerlapku.

Cinta yang berputar diantara bianglala. Dengan pijaran kembang api di malam hari. Dari pagi ke menjelang malam. Dari awal hingga akhir gerbang tertutup. Kamu, menemaniku yang terjebak di kota metropolitan. Sendiri, dan ingin pulang. Membawaku ke euforia tertawa dan menjerit lepas. Tempat ini adalah kenangan. Kenangan yang mengingatkanku bahwa kamu selalu ada dengan caramu. Seharian yang sarat dengan tawa, teriakan-teriakan, baju yang kering dan basah bergantian, badan yang serasa hampir rontok yang lunglai. Terbayarkan oleh bahagia. Ini mungkin hanyalah sekedar taman bermain. Taman bermain yang membuatku ingin selalu terjaga dalam mimpi.
Tapi, hei, ini bukan mimpi.
Nyata, kamu disampingku.



*kamu yang disana. Aku kangen :')



Minggu, 12 Februari 2012

I love my JOB, first

Hottie Sunday.
Well, ini adalah akhir dari weekend yang selalu saya tunggu dan (berharap) ingin saya extend *ngarep* untuk penghabisan sisa seminggu yang penat.
Masker bengkoang, buku Kim Kiyosaki, Adele, cemilan Indomar*t, dan coret-coretan di notes, adalah pengalih rutinitas.

***

Hottie Sunday.
Ada beberapa karyawan baru yang saya rekrut. Selama seminggu kedepan saya berperan sebagai ibu yang mendidik dan membantu mereka beradaptasi dengan situasi kerja. Mengenalkan masing-masing fungsi tiap bagian, memperkenalkan A-Z PIC di kantor, termasuk hal-hal remeh yang berkaitan dengan administratif mereka.
Tiba-tiba saya ingat ucapan saya kemarin saat sesi training. Ceritanya ini adalah penutup sesi seharian tersebut.

"Jujur, saya tidak tahu pada akhirnya saya ataupun anda akan berakhir kemana dan dimana. Apakah berakhir di perusahaan ini, ataupun tempat lain. Apakah stuck di satu tempat, atau kembali melangkah.

"Dan kalau boleh saya menyampaikan, dimanapun anda. Disini, ataupun di tempat lain, sekarang atau kapanpun, cintailah dulu pekerjaan anda, bukan perusahaan anda. Bukannya saya mendorong anda untuk tidak loyal. Anda justru harus loyal. Hanya saja, timbulkan loyalitas itu dari perasaan cinta terhadap pekerjaan anda. Dan loyalitas yang mendasari cinta terhadap perusahaan itu akan muncul dengan sendirinya."

Kalau saya sampai ketahuan pimpinan cabang, bisa-bisa saya kena tegur gara-gara berucap semacam itu. Tapi entah kenapa, saya merasa penting untuk mengangkat hal tersebut.

Mereka--demi mendengar saya berbicara, entah bosan, mengantuk, atau alasan apapun, mungkin hanya sekedar mengangguk. Tak masalah. Apa yang saya sampaikan, bisa jadi adalah proyeksi diri untuk memberikan spirit booster pribadi. Memandang mereka--anggaplah saya cukup melodrama ya--seakan memandang diri saya sendiri. Apa, sih, yang kita cari dalam hidup? Selain harapan yang coba kita jadikan kenyataan?
Saya merasa seperti seorang ibu yang baru saja memiliki anak-anak baru, yang harus saya asuh dan didik. Dan tak tahu sampai kapan mereka akan menganggap saya sebagai 'ibu' mereka. Pekerjaan ini berharga. Berharga bagi diri saya.

I love my job, not my company. Probably.

Menyaksikan mereka bertumbuh dan akhirnya 'dewasa'. Tak memerlukan saya lagi sebagai 'ibu' mereka :) Bukan sekali dua kali saya mendengar rekan seprofesi berkata,

"Kalau karyawan rekrutan kita bagus, mana pernah kita dipuji. Tapi kalau jelek atau bermasalah, pasti kita disebut-sebut..."

Hei, hidup memang tidak semudah apa yang dikatakan Mario Teguh, kan.
Menyambung post saya sebelumnya, bukan hal yang mudah untuk membentuk seseorang. Dengan budaya yang baru samasekali, proses adaptasi yang bukan sehari-dua hari. Apakah mereka akan menjadi presiden atau penjahat, kita memang tak tahu hasil akhirnya. Namun setidaknya saya telah mengatakan ini sejak awal pada mereka. Cintai dulu profesimu, bukan perusahaannya. Ini seperti mantra antiklimaks memang. Tapi logis kalau saya pikir. Mana pernah kita tahu seberapa penting diri kita dibutuhkan di perusahaan. Sampai kapan? Perusahaan membutuhkan posisi kita. Tentang siapapun yang ada disana, adalah soal kedua. Tapi yang namanya passion tak akan pernah padam. Mau dimanapun kita bekerja, selama itu sudah sesuai dengan passion kita, relevan dengan job kita. Let it do the rest.

Sesi training pun berakhir, hanya satu lagi tambahan saya pada mereka semua, si anak baru.

"Saya mungkin bukan seseorang yang memiliki semua jawaban atas pertanyaan anda, ataupun Doraemon dengan kantong ajaibnya, namun saya akan membantu anda semaksimal mungkin yang dapat saya usahakan."

I love my job, not my company. But it grow deeper day by day. It's not about creating comfort zone for me. I just passionating my job in my life. At least, I'm trying.

***

Hottie Sunday.
Snack saya hampir habis, seiring Adele yang terus terngiang di kepala. Membuat sesi melamun-merenung ini hampir berakhir. Besok adalah Senin, hari dimana saya akan memulai perjuangan awal selama seminggu. Dan ya, ngomong-ngomong, Adele adalah partner melamun yang luarbiasa.

'partner' hottie Sunday kali ini


Jumat, 10 Februari 2012

Seratuslimapuluh Sendok Kopi, tanpa Gula

"Nanti malam, ya."
"Oke..."
Aku mendesah. Duh. Bakal jadi obat nyamuk lagi deh. Malam ini. Semalaman begadang.
Jujur deh, aku sebenarnya bosan harus menemani kalian tiap malam. Dengan kesabaran luarbiasa. Mulai dari suasana yang sangat hangat dan cenderung mendidih, hingga pada akhirnya mendingin. Dan ya, masalahnya topik yang diperbincangkan diantara kalian memang lebih banyak tak pentingnya. Hmm...
Seperti kata-kata janjian barusan yang terucap diantara kau dan dia. Dan aku, diantara kalian.

Old friend, why are you so shy?
Ain't like you to hold back or hide from the light

***

Jujur. Di rumah ini, aku belum pernah melihat kisah seperti kalian. Perasaan yang begitu mendalam satu sama lain. Ketulusan yang muncul diantaranya. Namun hanya sebatas itu. Pernah membayangkan berpelukan namun ada ganjalan bantal diantara kalian? Tampak mudah untuk disingkirkan, namun tidak. Dekat, namun mustahil dipersatukan. Cepat atau lambat, dan selesai. Sekali lagi aku akan menantimu, menanti dia, malam ini, hingga malam kembali dingin. Aku teracuhkan, namun masih setia sebagai penyimak.

***

"Ren,"
Oke, perbincangan dimulai. Aku hanya bisa diam disini, menunggu percakapan apa yang akan muncul malam ini. Semua topik nyaris sudah kau perbincangkan dengannya. Dari mulai masalah bos yang belagu, homesick dengan kampung halaman, betapa kalian dengan bodohnya baru sadar memiliki persamaan di atas perbedaan...
"Ada kalanya aku ingin bicara serius denganmu."
Whoaa... roman-romannya mulai serius nih. Aku tahu dengan pasti--yah, setelah sekian lama mengikuti alurmu dan dia--salah satu dari kalian... dia...susah untuk serius. Tapi justru dia, yang melemparkan kalimat barusan.
"Tumben, kenapa? Ahh--kerjaan ini, kenapa nggak ada akhirnya yaaa..."
"Ren, aku serius."
Uhuk.
Kenapa malah aku yang jadi deg-degan ya?
"Iya. Aku juga serius. Besok deadline, Ro. Dan ini bahkan belum menyentuh seperempatnya!"
Duh... dasar wanita ini. Kadang-kadang kamu perlu ditatar untuk lebih peka!
"Ren--"
"Iya, bagaimana...Sumpah, Ro. Bagaimana kalau besok si Bos--"
"--aku sayang kamu."

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over yet

***

Sepi.
Aku merasakan kesepian yang amat sangat. Tidak karena hujan yang memang sedang rajin menjamah atap hingga menyisakan rintikan di plafon balkon. Bukan pula karena masing-masing di tempat ini mulai semakin sibuk dengan problema pribadi. Bukan. Aku hanya... merindukanmu. Merindukannya. Aku rindu menjadi obat nyamuk kalian yang nyaris basi, menikmati peperangan kecil kalian tentang masalah pekerjaan, tawa berderai yang tak jelas juntrungannya gara-gara leluconmu yang kadang konyol, ataupun sedikit peristiwa melodrama yang menghabiskan satu pak tisu. Aku rindu. Merindukan kalian, teramat sangat.

You know how the time flies
Only yesterday was the time of our lives
We were born and raised in a summer haze
Bound by the surprise of our glory days

"Kamu... kenapa? Kenapa harus aku?"
Dia hanya bisa mengangkat bahu. Aku bisa melihat tatapan perasaan bersalah sekaligus rasa kesal disana.
"Kalau bisa memilih, aku pasti akan memilih. Tapi kenyataannya? Aku terjebak disini, dengan perasaan yang samasekali tak akan mungkin terjawab sampai kapanpun."

Nothing compares, no worries or cares
Regrets and mistakes, they're memories made
Who would have known how bittersweet this would taste?

"Kita...aku--pada akhirnya harus memilih. Memilih untuk berakhir seperti apa. Kita tak pernah tahu dan paham, seperti apa semua ini akan bergulir. Aku tak sengaja menggulirkan bola, ke arahmu, dan ternyata gravitasi lebih kejam. Bola itu bergulung, semakin cepat...semakin pasti. Ke arahmu. Dan aku tahu, tindakan ini mungkin yang harus aku ambil..."

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over yet

Aku disana. Hanya bisa--lagi-lagi membisu. Perih. Seperti ada garam yang melumuri luka di tangan. Merah. Seperti tamparan keras di pipi.

"Oke."
Kamu berkata pelan. Mengambil laptop, buku-buku, dan sisa proyek kalian yang bertebaran. Menutup pintu, dan tak mengucap apapun lagi. Sekali lagi, mengabaikanku.
Dia mendesah pelan. Dengan perasaan yang sama. Mengambil sisa berkas dan barang di meja yang sama, dan juga meninggalkanku. Mematikan lampu. Meninggalkanku dalam kesunyian yang membuatku merinding dalam gelap.

Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
Don't forget me, I begged, I remember you said
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead

Dari sini, aku bisa mendengar lirih tangis. Diam namun menyisakan kesan pedih yang dalam. Aku paham itu...

***

I heard that you're settled down
That you found a girl and you're married now
I heard that your dreams came true
Guess she gave you things I didn't give to you

"Hei...kopi."
Aku menengadah. Padamu.
"Tahukah kenapa aku selalu enggan meminummu?"
Aku tahu, meski aku menggeleng sekeras apapun, kau pasti tak mampu menangkapnya.
"Membiarkanku mendingin, waktu demi waktu, hanya sekedar menambahkan satu sendok kopi lebih banyak antara hari demi hari...adalah untuk membuatku bersiap, menghadapi hari semacam ini. Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula...
"Hari ini dia menikah... namun bukan denganku..."
Aku ingin terisak. Turut berdukacita. Kau mulai menegukku. Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula.
"Kau menemaniku, seratuslimapuluh hari, dan kini... rasa sakitku kau tangkal dengan seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula. Pahit."
Pahit?
Tapi tahukah kamu, getirmu lebih pahit.
Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula.



#np Adele - Someone Like You







Kamis, 09 Februari 2012

Big Deal to Deal with

Bzzzz...

Apa permasalahan utama menjadi HR?

Rekruitmen?
Seleksi?
Training?
Organization developing?

Nope.

Untuk saya pribadi bukan itu semua.
Tapi hanya satu,

Memecat seseorang.

***

Beberapa saat lalu, konon ketika saya masih menyandang predikat sebagai pengangguran, ada satu film yang saya tonton. Judulnya Up in the Air. Jujur, film ini ada pada deretan terbawah yang menjadi rekomendasi saya untuk menghabiskan waktu luang. Pada awalnya.
Film ini berkisah tentang seorang konsultan independen yang hobinya keliling dunia--oke, saya ralat--tugasnya, adalah keliling dunia. Klien dia--yang notabene adalah perusahaan multinasional, terkendala dalam memutus kontrak karyawan. Serangkaian emosi dari para kandidat PHK dalam film itu, menggambarkan bahwa tidak mudah untuk 'memecat' seorang karyawan pun. Bukan hal yang mudah, Bung. Berat. Teramat berat. Namun dalam film tersebut George Clooney yang berperan sebagai eksekutor dapat melakukan itu dengan begitu halus, dan...berkelas.


must-watch-film

Oke, disini mungkin saya tak ingin membahas lebih lanjut tentang film tersebut. Imaji tentang film ini terlintas begitu saja ketika saya baru-baru ini terpaksa memberhentikan seseorang, sacara langsung. Face to face. Straight to the point--at least--meski saya harus merangkai kata sedemikian rupa untuk bisa masuk dalam inti permasalahan. Jangan ditanya rasanya. Tidak tega. Apalah, bercampur jadi satu.
Saya--secara pribadi tak bisa membayangkan, anggaplah anda melalui hari demi hari dalam suatu perusahaan, kemudian mendadak anda dipanggil ke ruang HR, dan... tadaa.

"Sorry, Sir. You've done."

***

Seseorang, pernah membuat analogi tentang perkara pecat-memecat ini,

"Andaikanlah perusahaan ini adalah sebuah kapal, dimana di dalamnya diisi oleh penumpang, dan terombang-ambing diantara ombak. Lalu kamu mungkin harus mengorbankan salah satu penumpang karena kapal ini kelebihan muatan. Satu hilang, namun kamu dapat menyelamatkan nyawa penumpang lain. Atau kamu ngotot pertahankan semua dalam kelebihan muatan, dan berakhir semua karena tenggelam..."

Saya terdiam,

"Pintu kebahagiaan lain akan terbuka, ketika yang satu tertutup. Andaikan seorang karyawan berhenti karirnya disini, yakinlah, pasti ada tempat yang terbaik untuknya di lain tempat."

Telak,

Memang benar. Namun tetap saja adalah berat, ketika harus melepaskan seorang karyawan, yang kita 'didik' sejak awal merangkak hingga berdiri.

Man! Memecat orang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak segampang menjentikkan jari. Ada kilatan emosi yang susah payah berusaha kami redam, sekedar untuk berucap 'karir Anda berakhir disini'
Bagi saya, lebih susah daripada mutusin pacar *ups*. Tapi benar deh. Antara nurani dan logika. Tidak semua orang mau, tega, ataupun senang hati mengucap kata 'PHK' kepada orang lain. Berkonsep, namun tidak untuk mengeksekusi.

But hey! It happened.
Sometimes those all about process, but most of all is just final result.


Nurani dan logika, terkadang memang tak bisa berbanding lurus.



Senin, 06 Februari 2012

Secangkir kopi itu searoma tanah

Hujan memang membawa euforia yang tanpa tedeng aling-aling.
Seharum kopi dan sesegar aroma tanah.
Dan selalu membuat berpikir, menimbulkan galau yang tidak pada tempatnya.
Dan disana, di depanku, ada kamu dan secangkir kopimu.

Sruput,
Kamu menyeruput kopi.
Tegukan pertama, kegelisahan berawal.
Bagaimana aku harus mengawali ini?
Demikian tanyaku, tepat pertama kali mata beradu.

Glek,
Aku menelan ludah, padahal tidak haus
Menggaruk kepala, padahal tidak gatal
Kamu gugup,
Katamu tepat sasaran seperti anak panah yang dilesatkan.

Srek,
Kursi yang tak sengaja kugeser seakan turut berkonspirasi
Gara-gara pengakuan dosa, pertama kali dalam hidup
Jangan bercanda, siapa yang gugup?
Balasku tak mau kalah!

Ting,
Denting sendok yang beradu mesra dengan cangkir
Tak perlu menatap setajam pisau!
Aku ngeri, dalam hati, ingin ditelan bumi
Dan mau dimulai dari mana? Kisahmu, serta pengakuan dosa itu?
Kali ini di hadapanku, ulangmu

Sruput,
Seteguk kopi, menjadi pahit
Tampaknya hujan berakhir
Aroma tanah menyeruak
Bagaimana kalau kita pulang?
Aku berlalu, menghindari kejaran busur panah

Dudududu...

To be a better man

To be a better man.

Itu yang terlintas di pikiran saya, demi memahami bahwa menjadi pemimpin itu...tidak mudah. Bukannya saya ingin jadi pemimpin atau apa, sih. Hal yang...jauh dari awang-awang saya, karena saya adalah tipe orang di belakang layar daripada pemain tunggal panggung.
Menjadi pemimpin, adalah bagaimana anda bisa menemukan 'kesalahan' dari atasan di atas anda dan memberikan masukan tanpa harus menggurui, 'memaksa' anak buah untuk bisa maju tanpa harus memaki, mendapatkan respek dari sekitar tanpa tampak disengaja sendiri. Apakah itu gampang? Tidak. Terutama jika anda bahkan tidak bisa memimpin diri anda sendiri dulu. Memimpin id--idealisme serta egoisme sentral dalam diri. Dan itu semacam, menjinakkan ranjau darat.

Boss, you should be not to be that bossy.

Sebagai seorang HR, saya mendapat kesempatan penuh untuk berinteraksi 180 derajat dengan berbagai level. Memilah dan memilih masing-masing posisi dan bentukan interaksi, serta terlibat di dalamnya. Betapa gaya memimpin seseorang bisa membentuk ataupun menghancurkan suatu organisasi.

Bung, ini memang tidak mudah.

Jika anda memimpin dengan aliran garis keras yang didominasi oleh makian, di satu sisi anak buah anda akan menjadi sosok yang tangguh namun mungkin tak punya hati.
Jika anda memimpin dengan keramahan yang luarbiasa, di satu sisi anak buah anda bisa terlalu lembek seperti bubur ataupun memanfaatkan keramahan anda dan menikam dari belakang.
Lalu harus seperti apa?
Dan seseorang pernah bertanya pada saya,

"Salahkah saya yang terlalu baik pada bawahan saya, sehingga mereka setega itu mengkhianati saya?"

Bagi pemikiran sederhana saya ya, pimpinlah orang lain seperti anda memimpin diri anda sendiri. Tidak perlu terlalu baik, terlalu galak, terlalu royal, terlalu apapun. Cukup, seakan anda memimpin jari-jari anda untuk meraih sesuatu, otak anda yang tak henti memikirkan masa depan, ataupun kaki anda yang tak henti melangkah. Susah? Memang! Karena kalau semudah itu maka saya sudah menjadi bagian direksi tentunya, dan tak sekedar menulis disini *tee-hee*

Dan pertanyaan selanjutnya adalah,

Bisakah kita memberikan kepercayaan 100% terhadap anak buah?

Jawabannya, menurut saya, tidak dan jangan pernah. Jangan pernah 100% terhadap apapun, sediakan cadangan sekian persen dari totalitas anda untuk kembali memijak bumi, kembali kepada kenyataan yang tidak sempurna. Sehingga ketika semua berbalik manghantam anda, anda masih punya sedikit cadangan untuk menopang diri. Cadangan sebagai--ketika anda menjadi seorang pemimpin kemudian anda gagal--maka inilah titik baliknya. Sekian persen yang 'sempat' anda investasikan untuk diri sendiri. Anda mungkin merasa gagal sebagai pemimpin orang lain. Namun tidak dan jangan gagal untuk memimpin diri sendiri.

Pimpinlah diri sendiri dulu. Kuasailah id anda, baru orang lain.

Just to be a better man.



*catatan ngaco sebelum tidur--mabok duren








Jumat, 03 Februari 2012

Cliche

"Kalau memang cinta itu seklise sinetron, apakah yang paling menjadi momok dalam sebuah hubungan?"
"Ada banyak, Ren. "
"Tidak bisakah kita lompati satu-satu?"
"Bisa."
"Berapa banyak?"
"Nyaris semua, asalkan kita punya mental bonek."
"Semua?"
"Semua. Kecuali satu hal."
"Apa Ro?"
"Keyakinan kita kepada pencipta kita. Pencipta kita masing-masing."

***

Reni hanya memandangku dalam diam, entah terpaku dengan hio di tanganku, ataupun dia memang sedang disorientasi. Gemas, aku ingin mengacak rambutnya yang ikal. Namun tertahan, karena Reni bisa patah arang. Ah, andai—
Ko, kenapa?”
“Kenapa apanya?”
Nggak. “
Kayak gitu amat lihatnya. Yuk ah, aroma hio nya menusuk ini. Sesak napas aku...”
“Hahaha. Dasar... “
Ko.”
“Ya?”
“Kenapa ya, perbedaan itu ada?”
Aku terdiam. Entah harus menjawab apa, menyadari bahwa sosok dihadapanku adalah seseorang yang sangat aku sayang. Ternyata. Dan detik ini, disaat dia berucap—semacam itu, hanya empasan udara. Andai empasan udara inilah yang membatasi kami, bukan bentangan tembok tak kasat mata bernama perbedaan yang prinsipil.
“Aku sayang kamu, Ko.”
Aku diam. Sangat kelu.
“Sebagai apa?” nyaris tercekik aku berbisik.
“Sebagai seseorang yang ingin mendampingimu...”
Kali ini aku melihat tembok yang ada semakin kokoh dan melapisi semuanya.

***  

Singapura, 2007
“Secangkir kopi untuk Nona semanis Anda.”
Dahi Reni mengernyit heran. Secangkir kopi?
“Saya tidak memesan kopi...”
Nope, dari pria di ujung sana.”
Reni melihat sekilas, berusaha mencerna sosok yang tertutup koran terbentang.  Tidak terlihat.
“Katanya, kelak ia akan satu meja dengan anda, disini, lima tahun lagi.”
Reni tercenung, memandang kilatan cahaya pada cincin yang melingkari jari manisnya.
Lima tahun lagi.”