Senin, 26 September 2011

5 Things that I Love You


Saya—adalah salah satu tipe orang yang (ternyata) bisa jatuh cinta dengan seseorang yang berada pada kategori anomali. Menyenangkan—karena rasanya ringan, tanpa ada beban… 
*** 

Pertama, dia bisa bermain harmonika. Astaga Tuhan… amat jarang sekali ada cowok bisa memainkan harmonika sejak jaman film Remi di RCT*. Hihihi. Alasan dia kenapa pengen bisa main harmonika : “Karena aku nggak mau kayak orang kebanyakan yang pegang gitar.” Bisa jadi sih, dia memang tak ada naluri pegang gitar. Hahahaha… *ups*
Kedua, pada saat orang-orang kena demam BB, dia lebih memilih untuk ‘memelihara’ Android, dan menerima segala konsekuensinya : susah cari case Android, minim bahasan di media, dan lain-lain. Saya jadi terpaksa menemani hari-harinya yang autis dengan si Android itu :p
Ketiga, pun ketika dia ‘terpaksa’ membeli BB (seperti saya) karena alasan penerimaan sosial—dia ngotot membeli tipe flip dengan trackball-nya yang sangat rentan itu. Dengan alasan : “Aku nggak suka BB qwerty (kayaknya dia amnesia deh, Android dia mah qwerty juga…duhh), apalagi dengan layarnya yang sangat tidak efisien lebarnya itu. Jadi ngapain harus beli BB yang mahal sementara fiturnya lebih keren Android??” Yaaaa—ngajakin berantem pecinta BB dia. Hahaha. 
Keempat, buku yang kami baca sangat berbeda satu sama lain. Sementara saya sibuk memahami buku Yoris Sebastian yang Creative Junkies, dia lebih memilih menekuni manga Spirits of the Sun dan novel Sherlock Holmes. Manga yang dia sukapun (seringkali) adalah tipe-tipe manga yang jarang diterbitkan lebih lanjut (seperti Best Skilled Surgeon yang stuck entah pada jilid berapa). Ckckck.
Kelima, dia suka bereksperimen dengan menu racikan ala dia. Dari nasi goreng tanpa kecap (yang memang lebih enak dari nasi goreng ala saya), jamur dan terong goreng, sampai mie dog-dog (semacam mie rebus berkuah kental nan pedas ala warung burjo) yang sukses meracuni orang serumah gara-gara bau merica dan bumbu-bumbu yang super tajam.
Ada banyak alasan lain yang menyebabkan saya begitu menikmati anomali-anomali itu. Yang jelas, saya lega ketika mengetahui bahwa dia bukanlah seseorang seperti kebanyakan. Tak sekedar sibuk menjadi orang lain atau repot menyamai pola-pola yang diterima umum. Karena saya juga lebih suka menjadi anomali :)




anomaly versus anomaly






Rabu, 21 September 2011

Ikan yang sedang berproses di kolam kecil ini…



Ada beberapa hal, yang membuat saya cukup klik di perusahaan saya sekarang. Hal yang simpel, dan mungkin dilakukan oleh banyak dan mungkin seluruh perusahaan. Tapi tetap saja, penting untuk dicatut sebagai note saya pribadi. Diantaranya...
1.     Ada kepedulian mengenai isu hijau di perusahaan ini, bahkan masuk dalam poin efisiensi tiap cabang. Saya cukup norak dan terharu ketika sistem di perusahaan ini adalah PLO (paperless office). Semua laporan adalah dalam bentuk soft file. Tidak diperkenankan melakukan prin materi apapun kecuali untuk kepentingan konsumen. Menggunakan kertas bekas untuk fotokopi dan keperluan lain sebisa mungkin. Sekecil apapun upaya hijau ini—whateverwhat a great deal.
2.    Masih ada basic value yang dipegang teguh disini : jujur. Persetan dengan tantangan yang ada, tapi toh—jujur—tetap saja melandasi tanggungjawab pegawainya. Seriusan deh, bukan lagi jujur ajur. Tapi jujur mujur.. Sekali coba-coba tak jujur, karir disini pun tinggal nama *saksihidup*.
Percayalah (dan saya percaya) ada karir disini. Ketika kamu percaya bahwa jujur adalah mujur.
3.    Your career is determined by yourself performance. Ini adalah harga mutlak. Sangat mutlak. Saya dipaksa keluar dari zona nyaman yang—haaaa—mengendap dalam diri saya. Sepintar apapun kamu, sekaya apapun kamu, se-cumlaude apapun kamu, sebeken apapun universitas asalmu, bla bla bla, selama kamu tak menunjukkan performansi yang oke… yang ada you punya karir bakal stuck. Tak bisa disundul dengan apapun. Behhh… rrrrrr.
Percayalah (dan saya percaya) ada karir disini. Ketika kamu ‘menjual diri’ mu dengan performansi yang maksimal.
4.    Multikultural. Seumur hidup saya hidup dan berkembang disekeliling orang-orang bersuku sama dengan saya. Yah—jadi semi-semi rada chauvinis sih :p
Dan… saya sangat bersyukur, bisa mengenal dan bergaul dengan komposisi individu multikultur disini. Sabang sampai Merauke, 180° berkebalikan dengan saya. Sangat menantang, ketika saya harus berhadapan dengan ritme kerja koko dan cici *ups* atau kaka’/abang/siapapun. Dan saya mengetuk kepala saya sendiri : “Hello…kemana aja kamu??”
Well, such a great moment. Ini, adalah salah satu alasan saya ketika memutuskan siap ditempatkan si seluruh Indonesia Raya, saya belum tahu apa-apa.

Anw, saya pernah posting entah kapan sebelumnya,
(Kelak) saya berjanji akan berkembang di kolam yang kecil untuk menjadi ikan yang sehat dan produktif. Ketimbang saya ngoyo di kolam yang besar untuk kemudian menjadi bayangan. Mungkin disini tampak ‘tidak ada apa-apanya’, namun saya justru mendapatkan big picture awal fase saya berikutnya :) Enjoy, folks.





HR juga manusia


Detik ini saya sedang berada di ketinggian lantai 25 di sebuah gedung salah satu stasiun televisi swasta. Topik hari ini sebenarnya training. Tepat disebelah saya adalah rekan saya yang cukup gila, sedang sibuk mengamati narsisnya dirinya di dalam YouTube. Sementara kami menunggu si trainer yang entah kemana...
Hah! intinya...

"JADI HRD ITU PERLU KETABAHAN HATI LUARBIASA"
*tawasetan*

but, it's so much fun!


La la la la la





Area timur, coming soon!





Senin, 19 September 2011

Ini tak selugu kertas kosong, Nona!


"Jadi kapan?"
"Tahun depan."
"Hah?"
"Iya."
“…”
“Kenapa? Kamu pasti takut.”
"Oke. Tahun depan."
"Tahun depan."

***
 “Tahun depan.”
Tahun depan. Dua kata sederhana ini mampu menghancurkan suatu kisah yang aku bangun dalam lima tahun. Lima tahun penuh, dalam sepersekian detik. Lima tahun penuh, yang kututup erat agar tak mendadak meledak.
“Maaf, telat mengabarkan.”
Otot-otot di sekitar pipiku saling menarik ke kutub berlawanan—hanya bisa menciptakan senyum sekelas Joker.
Apakah dia bisa melihat ini? Selapis undangan, dengan pita cantik berwarna marun—kini bernasib sama seperti rokok menthol terenak dalam sekejap : menyisakan abu di atas asbak.

***
Apa yang bisa terjadi dalam lima tahun? Sama. Sama seperti kamu melihat ombak menggulung peselancar berkulit cokelat dalam kerjapan mata. Kamu tak pernah tahu, sementara kamu berjalan bersamanya—diantara buket cantik, lingkaran berselaput perak putih. Melingkar indah di jemarimu.
Sementara kamu memilih berjalan bersamanya—aku memilih berteman desiran gusar gulungan air di pelupuk mata. Menunggu dan membenci kamu. Aku lebih mencintai asap rokok yang siap memberangus paru-paruku menjadi gumpalan hitam. Lebih. Daripada kamu.
Kamu tahu? Aku berdusta. Aku berdusta, jika ini sebatas tawa canda riuh rendah. Aku berdusta, ketika berucap akan menghadiri seremoni itu. Berbohong untuk kebaikan? Huh. Aku tak selugu itu, Nona.

***

“Siapa?”
Tenang. Tanpa emosi terlonjak.
“Bukan…”
Kelu di ujung lidah. Mendadak buntu. Bagaikan anak kecil yang tertangkap basah di pojokan pintu. Aku tertunduk minta ditelan bumi.
“Aku—lugu sekali, ya?”
Ia bertanya. Retorik. Kali ini ketenangannya merajuk menjadi gumaman tak jelas. Aku kehabisan kata-kata. Kehabisan napas. Sementara aku baru tersadar, nyaris terpendam selama lima tahun, aku juga terbakar!

***

Hari ini. di pucuk cakrawala. Diam-diam aku terdiam. Sengaja—agar aku tahu bagaimana cara angin membelai rambutku. Kamu tahu. aku menunggu. Disini. Berteman desiran gusar gulungan air di pelupuk mata. Menunggu dan mencintaimu.
Tepat pukul 10.00 ketika lonceng itu berdentang. Di suatu tempat yang hanya kamu dan aku yang tahu.Ombak menggulung peselancar berkulit cokelat dalam kerjapan. 






Kamis, 15 September 2011

Ketika flu menyerang dan terperangkap di kamar yang dingin sementara di luar hujan rintik-rintik romantis


Kota Panasumpekmacetbau, 15 September 2011

H+1 pascagalau. Galau gara-gara long distance relationship—yang kata orang menyiksa. Kemarin, pas makan siang mendadak ada 2 SMS sekaligus masuk ke dalam hp saya, dengan berita yang bikin saya malas-malasan selama beberapa jam ke depan. Apa pasal? Yang pertama, gara-gara si pacar ada pengumuman penempatan hari ini tadi. Yang kedua, mentor saya hitung-hitungan selama training memutuskan untuk resign. What a day.
Saya jadi berpikir. Long distance relationship.
Selama ini, saya terlalu naïf berpikir mengenai LDR adalah sebatas ketika saya terbentang jarak ruang waktu dengan pacar. Clichè.
Mundur ke beberapa hari sebelumnya, lebih dari dua orang atasan di cabang dengan jumawa-nya bilang kalau LDR itu pasti gagal. Pasti. Mutlak. Absolut. Berdasarkan pengalaman mereka, rata-rata LDR pasti berbuah sad ending. Tapi saya tak peduli, ah. Mau di-LDR-kan kayakmana. Jodoh ya jodoh. Kun fayakun.
Well, LDR—adalah ketika hubungan yang kita miliki, terbentang jarak ruang waktu. Tidak bertatap secara fisik—face to face. Dan tidak sekedar bersama si pacar saja. Karena pada kenyataannya saya juga sedang ber-LDR—berhubungan jarak jauh, dengan teman-teman saya di Jogja, keluarga saya, teman-teman MT saya yang baru (yang akan segera melanglang ke lokasi on the job training mereka) dan semua-mua yang bersua sebatas suara ataupun visual melalui bentang perantara. Dan memang seperti itu. Tapi kenapa, LDR bersama pacar rasanya lebih ‘menyiksa’?
Mungkin, karena terlalu banyak ketakutan dan ketidakpastian di dalamnya? Seperti gado-gado?

*** 
LDR—kalau saya—suka diawali lebih dulu dengan rasa kehilangan. Kehilangan yang aneh. Saya merasa kehilangan ketika harus meninggalkan Jogja yang telah membesarkan saya selama 22 tahun lebih (beuuhh, galaunya setengah mampus. Pengen mewek melulu di kereta :(). Merasa kehilangan ketika pacar saya yang selalu menemani saya selama di Jakarta dan sering berantem ternyata mendadak harus penempatan entah dimana. Kehilangan ketika partner ngobrol tentang pekerjaan mendadak resign dengan curangnya. Kehilangan ketika satu-persatu teman-teman MT saya pada berangkat OJT. Mbrambangi deh.
Dia, sesuatu, atau mereka = hilang. Tapi ada di hati dan pikiran *eaaa*
Ada, tak bisa diraih dan ngawang! Saking mendalamnya, kadang-kadang kehilangan itu bikin galau. Makanya, saya lagi mendoktrin diri sendiri, jangan menyesal di belakang. Jangan menyia-nyiakan sesuatu atau seseorang ketika ada di depan mata. Karena kalau sekali hilang atau lepas, nilai penyesalan itu pasti ngekor di belakang :p

Coldplay – The Scientist

Senin, 05 September 2011

Hoi, Kota Tua!


Kemarin Sabtu (03/09) saya bela-belain pulang awal ke Jakarta gara-gara niat ingsun mau jalan-jalan ke Dufan. Tapiiii... karena Dufan (katanya) mahal pisan gara-gara tambah naik tarifnya, jadilah lokasi jalan-jalan beralih ke Kota Tua. Berbekal info jalur busway dari kakak angkatan (Kwitang-Senen-Harmoni-Kota), jadilah kami berempat capcus ke Kota Tua. Hasilnya? Pertama, saya SUKSES kena JAMBAK pengemis kecil yang marah gara-gara saya nggak kasih ayam kremes saya yang tinggal tulang buat dia (%^&&*!!@). Yang lebih siaul, setelah sukses menJAMBAK rambut saya, dia melemparkan butiran nasi kering (entah dari mana asalnya) ke dalam piring makan saya. What the hell. Oke. Itu adalah pengalaman pertama saya berhadapan dengan pengemis yang tak beradab... *ergh**lempar tu bocah pake tulang*

Dan, inilah hasil narsis kami. Hahaha.  Asoi.
 
kayak mau maling 

bangunan yang tampak keren dan megah, 
padahal di bagian bawahnya (yang sudah sukses di-crop), 
penuh sama manusia yang berjubel

pink matching

pose geje

duo anak ilang di kota tua

pose yang lebih dodol

tempat prewed KD + Raul

gila!!

spooky =.=


kirain sepi, nyatanya kayak pasar malem... errrrr


sok eksis *wajib*