Rabu, 31 Agustus 2011

The Boy in the Striped Pyjamas


(udah telat banget baru sekarang nonton film ini... yo ben :p)




Mengambil setting kala Der Führer masih berkuasa, film yang diangkat dari novel besutan John Boyne ini menceritakan kisah seorang anak bernama Bruno yang terpaksa hidup nomaden mengikuti sang ayah—tangan kanan Nazi—yang selalu berpindah tugas. Suatu ketika Bruno dan keluarganya terpaksa pindah (lagi), kali ini ke sebuah daerah yang jauh dari kota. Bruno, merasa bosan setengah mati—tanpa teman, tanpa hiburan—bahkan kakak perempuannya lebih asyik bergenit-genit dengan ajudan sang ayah (yang kebetulan memang keren, hehehe), sementara ayahnya sibuk dengan pekerjaannya. Di rumah baru itu Bruno ‘berkenalan’ dengan salah seorang pembantu—a bit stranger—demikian ia menyebutnya, seorang lelaki tua berpakaian piyama kumal dan kusam bernama Pavel. Pavel—praktis menjadi sosok asing yang menarik minat Bruno, karena ia begitu berbeda dari orang-orang yang biasa ditemuinya.
Bruno—mungkin sadar nalurinya menyerupai Dora the Explorer—menemukan pintu samping yang (bodohnya) terbuka dan terakses ke luar. Keingintahuan Bruno mengantarnya ke sebuah kamp yang ia artikan sebagai ‘peternakan dengan bau aneh yang kadang-kadang muncul’.
Di tempat itu ia berkenalan dengan Shmul, anak laki-laki salah satu penghuni kamp. Ia berpakaian sama seperti Pavel, piyama garis-garis berwarna antara biru-abu. Diam-diam—meski berbatasan kawat listrik—hampir setiap hari Bruno bercerita dengan Shmul—lebih tepatnya menanyai Shmul mengenai kenapa ia berpiyama atau kenapa ia tak bisa bermain di luar atau kenapa-kenapa lainnya. Termasuk keheranan dan ketidakmengertian Bruno kenapa Shmul dan pria-pria lain yang berpiyama harus diasingkan hanya karena mereka adalah Yahudi.
Klimaks film ini adalah ketika Bruno mengambil keputusan untuk kabur dari rumah sesaat sebelum pindah, untuk membantu Shmul mencari ayahnya yang hilang—dengan berpura-pura menyerupai orang-orang berpiyama. Ia masuk ke dalam area kamp dengan menggali tanah, hingga pada akhirnya ikut terdesak dan terdorong bersama-sama Shmul dan tahanan lain ke dalam sebuah ruang pembantaian kaum Yahudi. Tepat pada saat itu keluarganya tersadar bahwa Bruno menghilang—bahkan ayahnya yang menjadi anak buah Der Führer pun tak dapat mengehentikan kematian Bruno.

***

Humiliation—terutama pada era Nazi, adalah kekejaman yang mengerikan. Tidak habis pikir rasanya, kenapa ya manusia bisa sekejam itu pada manusia lainnya? Hanya karena mereka merasa bahwa kaum merekalah yang paling eksklusif di muka bumi ini. Totally nonsense.
Speechless. Yang jelas, saya sangat MEREKOMENDASIKAN film ini. Film lain setelah Life is Beautiful, yang juga (lagi-lagi) mengangkat isu Nazi versus Yahudi di jaman Hitler.

Film bagus lain yang wajib ditonton. 
Penting! Agar manusia pada punya hati.

Oya, Saya tidak sedang dalam pro Yahudi atau mengatasnamakan apalah. Karena bagi saya, inti dari film ini hanya satu : anda akan amat sangat bodoh, ketika hanya mendengar atau melihat sesuatu tanpa tahu dengan pasti apa yang sedang anda hadapi. Setidaknya cobalah untuk mengenal sesuatu itu dulu, sebelum membuat kesimpulan. Apalagi jika anda sekedar mengembangkan prasangka. Sumpah! Anda b.o.d.o.h!

“Melihat atau mendengar itu jangan pakai mata atau telinga saja.Tapi dengan hati.” (Alm.Mustaqfirin—dosen terbaik saya).


Fanatik—sampai kapanpun, tak akan mendatangkan manfaat apapun. 




Senin, 29 Agustus 2011

Stress Release :)



Apa yang kamu lakukan ketika merasa stuck dalam dua jam??  

Saya?
Bikin sketsa yang ngabis-abisin buku catatan, daaan...
a cup of coffee! :)

 gambar pasca coffee break

 coffee break

 gambar pra coffee break


Intinya, 
saya makan gaji buta! tee-hee :))



Minggu, 28 Agustus 2011

Happy Happy Time



Ha! Akhirnya… setelah pending berminggu-minggu, bisa blogging ria lagi :)
Jujur, mendadak mati kutu ketika harus mulai menulis lagi. Apa yang mau ditulis?? Akhir-akhir ini super riweuh, jadi deh saya bingung mau menuliskan apa... *alibi*

Welcome to the jungle,
Itulah yang pertama kali terlintas di otak. Hampir sebulanan saya menjadi bagian suatu perusahaan. Dan…
Samasekali di luar bayangan. Hahaha.
Saya,
Nggak suka mengajar.
Nggak betah belajar hitungan.
Ternyata kudu berjuang lagi beradaptasi dengan semua A-Z itu. Hyaaaaaaaa.  Presentasi, belajar hitung-hitungan, ngapalin rumus... policy, bla bla bla. Mau gilaaaaaaa!! Baru-baru ini, saya SUKSES melewati post-test dan serangkaian kuis siaul, kemudian saya sadar : cari duit itu nggak gampang, cuy!

We have ‘it’ choice,
Ada kalanya kita harus memilih menjalani hidup seperti apa. Dan itulah yang sedang saya jalani. Memilih untuk jauh meninggalkan Jogja, menanggalkan kenyamanan selama hampir 23 tahun yang telah menemani *nangisbombai*
“Dan, kenapa kamu mau hidup jauh dari Jogja? Meninggalkan semua hal yang sempurna di belakang?”
“Yah, yang sempurna di belakang itu—apakah bisa menjadi tameng saya besok-besok?”
Tidak.
Saya, memang memilih meninggalkan Jogja. Dengan kecemasan luarbiasa dari kedua orangtua saya. Pak, Bu, saya akan pulang dengan emas di tangan! Hahahaha. Duh, saya jadi khawatir jika saya benar-benar ditempatkan di area timur Indonesia. Hiyyy :p

We’re the winner of outer ring,
Bangun pagi-pagi (secara enam bulan sebelumnya saya menjadi pemalas akut), menikmati polusi, pulang ketika matahari menghilang, beda prinsip dengan teman-teman baru, inilah-itulah… Mau curhat juga jadi berasa basi. Sialan juga nih stigma ‘lulusan psikologi’, bikin saya mikir-mikir kalau mau curcol sama orang lain. Jujur deh, ada kalanya merasa down dan ingin kabur balik ke sangkar sebelumnya : JOGJA!!!!!!! Huhuhuhu…
Sampai suatu ketika saya terdampar duduk dengan salah satu teman MT yang bawel masyaoloh. Sebut saja X. X ini adalah cowok tipe-tipe sanguine : rame, berisik, hobi mengomentari hal-hal paling nggak penting di kelas, dan tak peduli meski satu kelas kesal dengan celetukannya yang amat sangat nggak penting. Suatu saat, pasca kuis apalah—yang jelas kuis ini sukses menghancurkan mood saya seharian, saking saya nggak bisa mengerjakan sedikitpun—si X bercerita tentang filosofi Muhammad Ali pada saya. Itupun setelah saya menodongnya dengan pernyataan sepihak,
“Kenapa sih, kamu cengar-cengir melulu???”
Dan sambil mencoret-coret buku tulisnya yang sudah bulukan gara-gara kebayakan dicoret-coret, ia pun menjawab,
 “Kamu tau Muhammad Ali? Tau nggak kenapa dia selalu menang? Dia selalu menang karena dia punya prinsip bahwa ia adalah pemenang bahkan sebelum masuk ke dalam ring. Menang, karena ia memiliki mental seorang pemenang yang ia tanamkan jauh-jauh sebelum kakinya menginjak ring. Nah itu yang aku pegang. Itulah kenapa aku bisa cengar-cengir begini.”
Kasarannya semacam itu. Kalimat yang biasa saja, apalagi bagi saya yang mengenyam ilmu psikologi selama 3,5 tahun *sombong* Hahahaha.
Bukan. Bukan. Kalimat itu memang biasa. Tapi mengingat yang mengucapkannya adalah si X—yang notabene adalah anak paling cuek, terkadang menjadi public enemy gara-gara kebawelannya—saya seperti diingatkan kembali. Diingatkan, bahwa saya tak bisa mengalah sebelum benar-benar bertarung. Seperti yang juga ia katakan,
“Toh, kalaupun kali ini aku gagal. Ya sudah. Berarti aku memang belum berjodoh dengan tempat ini.”
Ya sudah. Memang sesimpel itu, se-legowo itu. Legowo bukan berarti kalah, kok. Tapi tetap saja, saya perlu orang lain untuk mengingatkan saya. So, thx to X. You’re my man :D

Here & now,
Detik ini, saya tahu bahwa saya tidak salah melangkah :)

"Apa sih, yang kita cari...?"
"Sesuap nasi."