Selasa, 05 Juli 2011

Mojokerto dalam Intermezzo




Nyaris seminggu lalu, saya menghabiskan hari saya di Mojokerto. Kota yang—hmm—saya tak tahu harus berkreasi kemana ketika berada disana. Dan sejumput hal kecil, yang ternyata menjadikan kota tersebut 'menarik' dalam konteks yang lain... 


#Manisan Luwu 
Ini apa? Itu adalah pertanyaan saya pas pertama kali melihat bentuknya yang aneh. Awalnya  saya kira jeli atau agar-agar. Tapi ternyata teksturnya krenyes-krenyes,  sangat manis (karena memang manisan buah), dan ini adalah buah. Buah luwu  (spell?). Lebih enak dimakan dingin-dingin dari lemari es.  SEGAR. Saya gumun, karena di jogja memang tak ada makanan macam begini...


Warna hijau yang tajam, berasal dari pandan. Wangi... 
 

#Sate Pecel Aloon-aloon
Hari ketiga saya di Mojokerto, si Ibuk mengajak kami jalan-jalan. Rupanya Ibuk saya sudah memiliki gambaran jelas hendak kemana kita hari itu, 

 
Sate pecel. 
Pikir saya, sate pecel adalah pecel yang ditusuk-tusuk jadi sate... Ternyata, 

  
  
Ini adalah sate pecel yang (katanya) tersohor. Rupa-rupanya Ibu saya mengajak kami kesini demi menuntaskan nostalgia jaman mudanya dulu. Konon setelah hari pernikahan, si Bapak mengajak Ibu makan sate pecel alun-alun. So memorable *ouch*
 

Dan sementara perut dipuaskan sate pecel, mata saya dimanjakan view alun-alun Mojokerto (yang katanya) selalu padat di malam minggu.  

Tampak depan alun-alun Mojokerto. 
Masuk gratis, tapi kalau masuk ke taman bermain perlu beli karcis dulu.




Salah satu sudut alun-alun... sekilas mirip suasana Semarang 

Well, alun-alun tersebut memang salah satu lokasi favorit muda-mudi Mojokerto, selain JT atau jogging track. Dan setelah puas ber-pecel ria, next destination is... 

#Boliem
  


Boliem, semacam toko oleh-oleh yang cukup uzur. Terbagi dua bagian, bagian depan menjual oleh-oleh umum macam kerupuk udang dan lain-lain. Sedangkan bagian lain yang sedikit menjorok ke dalam menjual masterpiece-nya, onde-onde bermerek Boliem.

Oleh-oleh onde-onde Boliem favorit orang Mojokerto. 
Sayang, onde-ondenya couilik-couilek, rek
 
Lokasi Boliem adalah di Jalan Niaga 21, Mojokerto. Jalananya agak masuk jalan kecil, di dalam area jalan pasar. 

Sebagai tambahan, lokasi jakan-jalan yang cukup terkenal di Mojokerto adalah sepanjang Jalan Majapahit. Jalan Majapahit luamayan panjang, dimana kanan-kirinya penuh dengan toko-toko. Mirip-mirip Malioboro, lah. Hanya saja minus mall.  

#Pangsit Benteng Pancasila 
Dan... Mie Pangsit menjadi last supper malam terahir saya di Mojokerto. Kembali, lain ladang lain belalang kembali terulang,   

  Om    : “Wah, kita makan pangsit aja ya!”
  Saya : “Asiikk!”

  Pesanan datang, dan tadaaaa… 

mie pangsit? atau mie ayam?? 


  Adik   : “Pangsitnya mana?” (mencari sosok pangsit dalam mangkok)
  Om    : “Ohh, pangsit itu ya mie kalo disini…”
  Saya  : “…”
 
Mie pangsit—penjelmaan dari mie ayam—memang bukan mie dengan pangsit. Ada baksonya sih, tapi lebih mirip mie ayam bakso SD Ungaran (kalau ada yang pernah coba). Terdiri dari mie mirip mie ayam, irisan ayam (tapi tidak semanis ayam campuran mie ayam di Jogja), cabe kriting diiris tipis, sawi, semacam kremes-kremes, daun bawang, bawang goreng, yang kemudian disiram dengan mirip-mirip kuah kaldu berisi bakso (disajikan dengan mangkok mini). Rasanya? Perfecto! Hati-hati dengan cabai keritingnya yang sangat pedas dan mirip ranjau di mulut!



#Makam Troloyo
Tepat setelah perut kenyang, Om saya dengan baik hatinya mengajak ke Trowulan. Wah asyik, ke candi! 
Olala. Tapi tentu tidak semenyenangkan itu saudara-saudara. Karena si Om lebih suka mengajak kami ke...

Makam Troloyo


Oh yeah, ke makam dengan perut kenyang, pada pukul 20.30, sementara saya salah kostum sekali (celana pendek, kaos oblong, dan sepatu sandal) adalah wisata yang brilian sekali. Huft. Kata sepupu saya, semakin malam makam ini kian ramai. Wajar saja, sih. Karena isi empunya makam memang tokoh-tokoh tersohor jadul. Sebut saja makam Putri Campa, Menakjingga, Brawijaya, Kencono Wungu, serta beberapa nama Walisanga…

salah satu sudut Makam (pic taken from : wisata.mojokerto.web.id/) 


Dan—arrgh—saya benar-benar salah kostum! Pergi ke makam di malam hari dengan kaos dan celana pendek tanpa jaket adalah hal terakhir yang paling saya inginkan! Uh.

Para peziarah datang dan pergi, berkerudung, berpeci. Mereka mengambil air wudhu kemudian sholat di depan makam, dan tentu saja berdoa. Konon, dengan berdoa di kompleks pemakaman ini maka hajat yang diinginkan akan tercapai. Semakin larut, maka semakin banyak orang-orang yang datang. Apalagi jika sudah malam Senin Legi, para peziarah akan tumpah ruah memadati setiap jengkal makam, tanpa terkecuali. Maka tak heran, suasana di halaman makam sebelah luar mirip arena pasar malam. Ada warung kopi, odong-odong, roti bakar, jagung bakar…

Dan si Om punya rencana lebih ‘oke’...
 
Om      : “Yuk, ke Makam Kencono Wungu.”
Saya    : “…”

Lokasi makam Kencono Wungu menjauhi area ‘elit’ makam, berbaur dengan makam penduduk sekitar. Saya dibuat merinding disko. Ibu dan adik saya malah memeluk lengan saya erat-erat (kayak saya berani saja), kami melewati jalan setapak dimana kanan-kiri penuh dengan makam tidak terlalu beraturan dan pohon-pohon kamboja putih, sementara sayup-sayup kemenyan melintas di bawah hidung. Euhhh… “Assalamu’alaikum…”

Makam Kencono Wungu di siang hari. 
Demi menghormati nama beliau, tembok keseluruhan makam ini dicat ungu. Konon banyak orang yang datang ke makam beliau demi memohon kesembuhan, karena beliau dikenal sebagai ahli obat (kata Om)