Minggu, 26 Juni 2011



MAN. I HATE SOCIAL MEDIA. ARGH.




Curhat Pencari Kerja #1



  
Dalam fase pasca sarjana, tak ada yang lebih sempurna selain dapat panggilan tes dari perusahaan idaman. Totally happy to the max! Berasa udah keterima aja :) padahal perjalanan jelas-jelas masih jauh dan panjang plus berliku...entah ending seperti apa yang menanti di ujung gang. 
Dan—it’s complicated enough—ketika pas dapat lotere masa depan, ehh…lagi kere-kere-nya, kantong kering kerontang, nggak mampu ke tempat tes saking sebelumnya sudah kudu bolak-balik ke Jakarta yang sumpek tiap minggu. Enak sih, buat para temen-temen senasib yang kantongnya setebel bantal, tiap keluar kota bisa naik KA eksekutif atau pesawat. Mereka—tinggal mikir materi tes, bisa belajar sedikit-sedikit. Lah, bagaimana nasib para jobseeker bermodal nekat dan dengkul macam saya?! Yang kepikiran di otak cuma satu :

“Sampai nggak nih, ke tempat tes??”

Mana sempat mikir materi tes, tes apa yang akan keluar, apakah amunisi masih aman dalam tas ataukah sudah patah atau hilang gara-gara tas bolong dan berhimpitan dengan manusia lain dalam satu gerbong?? Sampai dengan selamat dan lumayan ontime adalah satu-satunya pengharapan. Perjalanan panas, keringat, bau, dengan ekonomi, bisa jadi cuma berlalu dalam tigapuluhmenit sampai dua jam…
At last, kita hanya bisa berharap dan berharap (lagi), semoga perjalanan ini bisa menjadi bagian cerita yang terbaik, meskipun (belum) yang terindah :) (OJ)


Antara Jogja-Jakarta, 26 Juni 2011



#curhat seorang teman, ketika terjepit diantara kemacetan arus orang dalam KA Progo kelas ekonomi menuju Jakarta. 1 kali ketiban kardus, 10 kali dilangkahi dengan semena-mena, dan entah berapa kali muka bertatapan pantat. Goodluck, bro!







Maraton Kebetulan




Terkadang,
kamu berharap tidak pernah dipertemukan dengan dia—atau mereka—atau sesuatu, 
 yang pada akhirnya (sekedar) membuatmu kecewa atau sakit hati,
membuat seluruh waktumu tersia-sia, 
Dan kamu tahu harapanmu palsu, 
karena kamu tak bisa melompati hari yang sangat kamu benci.

Dia—atau mereka—atau sesuatu,
tetap saja kau ‘temui’ 
di antara kuliah jam satu, 
suara memuakkan dari sebuah lagu di siang sunyi, 
pertemuan-pertemuan canggung, 
suara yang mengaku salah sambung, 
dan sederet 'kebetulan' lain

Jujur, 
dalam agenda Tuhan tidak pernah ada sesuatu bernama 'kebetulan',
sehingga bodoh sekali kamu menganggap pengorbananmu adalah sampah.
Toh, Dia sengaja merangkaikanmu cerita, 
sebelum kamu menemukan ending-nya 

Satu kebetulan, dua kebetulan, tiga kebetulan...
Terikat menjadi satu stok cerita untuk anak cucumu kelak
Maka terima saja tanpa berteriak, 
'kebetulan' yang kurang mengenakkan tersebut,
karena pada akhirnya kamu akan bertemu seseorang atau sesuatu yang menyambut,
tak lagi mengecewakan dan tanpa bonus sakit hati 
Setelah marathon ‘kebetulan’ itu


First, enthusiasm
At last, nothing to loose








Sen to Chihiro no Kamikakushi (千と千尋の神隠し)

  



Saya bukan penggemar anime, kecuali produk Disney atau Pixar (mereka satu almamater nggak ya? Entah). 3D nya menyenangkan untuk dilihat. Pesan moralnya sih, biasa aja. Lalalalala. Tapi, saya barusan jatuh cinta sama anime besutan Ghibli. Judulnya Spirited Away atau Sen to Chihiro no Kamikakushi (千と千尋の神隠し). 

"Spirited Away dirilis di Jepang pada Juli 2001, menarik penonton sebanyak sekitar 23 juta dan meraup pendapatan sebesar 30 miliar yen, mengalahkan Titanic untuk menjadi film tersukses dalam sejarah Jepang. Film ini memenangkan penghargaan Oscar pada tahun 2002 dalam kategori Film Animasi Terbaik dan menjadi anime pertama yang meraih penghargaan dalam kategori tersebut. Film ini juga memenangkanGolden Bearpada Pesta Film Internasional Berlin 2002 (bersama Bloody Sunday)."
(Wikipedia)



Dan intinya apa? 



Intinya saya terharu (yang sebenernya juga nggak bisa jadi alasan utama juga, sih, secara pada dasarnya saya terlalu gampang terharu) gara-gara tokoh utama nya, seorang anak kecil bernama Chihiro, memiliki hati yang sangat tulus. Dia rela menjual jiwanya pada ratu sihir (fiksi-fantasi sekali, kan?) demi menyelamatkan orangtuanya yang jadi babi gara-gara salah makan. Intinya sih itu, plus ditambah plot yang menarik (film ini dibeli hak pemfilmannya oleh Disney).

Pesan moralnya? Tonton sendiri saja deh, yang jelas film ini ringan namun memiliki esensi yang dalam sekali. Sangat bagus untuk ukuran animasi sederhana :)


Another Ghibli’s must-have-to-see,


Tonari no Totoro (となりのトトロ) 



Gake no Ue no Ponyo (崖の上のポニョ)
Film ini memenangkan 7 penghargaan, termasuk Japan Academy Prize for Animation of the Year.    





Sabtu, 25 Juni 2011

Happy Graduation, Kiddo! :)

Sedikit candid ngaco, pameran karya murid-murid TK/playgroup...





 random pics. 18/06/2011 (kalau nggak salah)

Jadi ceritanya semua anak TK dan PG ini sedang ada gawe, mereka jualan karya tangan mereka selama satu tahun pelajaran. Yang beli? Ya orangtua mereka dong... Rame, ribet, berisik, panas, keringetan, capek!

Dan, ini beberapa (yang mau difoto, terpaksa atau tidak), anak-anak unyu yang menemani...yah...sekitar 3 minggu pagi hari saya :) 

Ghulfan & Salma
Ghulfan itu ceriwis, pendiam, dan cuek. Tumben-tumben aja dia mau nampang. Salma, dia mah galak, nakal, culas! Kalau lagi berantem sama temennya, cara dia menatap itu...hiiii *serem*

Adit. 
Anak cowok yang setiap pagi beritual nangis, tepat begitu ditinggal ortunya kerja. Gurunya sampai harus berkali-kali berpura-pura menelepon ibunya tiap dia nangis. Cengeng, tapi nakal. Kalau ketawa njerit dan giginya ompong. Jangan diliatin lama-lama, atau dia bakal nangis. 

Yayak & Sonia. 
Yayak...hmm, anak yang 'aman'. Sonia, anak ini cantiiiik :)) apalagi kalau senyum. Dua-duanya anak yang baik. Hohoho. Ceritanya saya mau foto Yayak, dan tau-tau si Sonia nongol dan ikutan foto :)

Ibel. 
Galak, rame, suka mengadu :p Anak ini protektif sangat dengan topi karya(orang lain?)-nya. 
Tampaknya telah diarahkan si ibu buat jadi model. Dan, dia masih stay di playgroup, belum naik ke TK. Udah Ma, dijadiin model aja deh...

Bagas & Nabil. 
Bagas adalah anak tergaul untuk ukuran playgroup setempat...rambut dikasih gel 
(sumpah, tekstur rambutnya rada keras dan tegak setiap saat), nakal! (saya pernah dua kali kena pukul), plus senyum tiga jari. Salah satu troublemaker yang rajin bikin temennya nangis, satu anak/hari. Nabil? Well, dia anak yang kalem. Foto ini diambil setelah hari kemarin Nabil kena tendang Bagas...

Avia (yang jilbab kuning).
Anak Bu Guru TK. Nakaaalll, nggak bisa diam. Hobi memonopoli mobil-mobilan.

Fikry
Anak ini lucu sekali. Ibunya sangat hobi kasih bedak di muka Fikry, dengan kadar yang banyak. Benar-benar banyak. Tau film vampir tiap hari Sabtu pas jaman SD? Nah, ibunya kalo kasih bedak itu seputih vampir kecil di film itu, kurang lipstik ala Jengkelin plus perona pipi yang bulat-bulat itu


Anw, happy graduation yaa! Semoga kalian nggak tambah bandel :) Muach! :*




"Kok kamu nggak ngajar lagi?"
"Kan mereka udah terima rapot."
"Oh, kamu cuma cari pelarian aja, ya? Biar lupa dari rutinitas cari kerja?"
"...yeah, (maybe) it's damn true. But they're sooo cute. And I love them. "


  



Rabu, 22 Juni 2011

Sesederhana Kata Sederhana


“Ketika aku lebih gendut dari sekarang apakah kamu masih sesayang ini sama aku?”

Sepatah kata di atas, yang main sering kamu ucapkan. Sedangkan aku, masih menganggapnya sebagai retorik saja.

“Ketika kamu lebih gendut daripada ini, ketika bahkan kamu syok mendapati berapa banyak lemak dan kolesterol yang tertimbun ‘tanpa sadar’ di perutmu yang buncit, aku masih sayang kamu. Sesederhana itu jawabanku.”

Nyaman, adalah perasaan yang tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Tidak oleh perut yang lebih sixpack, tidak oleh set basic koleksi Armani, tidak oleh apartemen mewah dengan spot strategis, tidak oleh hal-hal yang dianggap umum sebagai ‘nyaman’.

Nyaman, adalah bagaimana aku merasa bahwa hanya dengan memeluk, sekalipun di atas perutmu yang buncit, aku tahu bahwa semua hal yang berputar-melilit-menjatuhkan-menyandung-mengikat-membelit, semua akan baik-baik saja. Kembali baik-baik saja. 



**



Dan kamu masih tak puas. Hingga suatu sore, kembali satu kalimat panjang terselip, kembali memutaradukkanku, 

“Mana yang kamu lebih suka, bahwa aku tak peduli sekeras apapun pengorbananku asalkan bisa membuatmu bahagia—yang berarti termasuk aku ‘menghilang’ dari rutinitasku, kelaparan, menghabiskan hasil 10 dari sehari dan 5 dari seminggu untuk a lil couple days of hedonistic life, mengalahkan niatku yang lain—ataukah ketika aku tetap pada track ku sehari-hari, kamu pada track mu, dan kita sama-sama menderita, karena terbatas rentang?”

“…” adalah jawaban terbaikku saat itu.


Ini, adalah a-million-dollar-question. Aku tahu, kamu akan memilih untuk ‘menderita’. Dan inilah letak kesalahan itu. Aku mempersepsikan kata ‘menderita’ itu untuk melihat segala hal yang kamu sebut ‘keikhlasan’. Padahal, tak pernah sekalipun kamu mengeluhkan semua daya yang kamu upayakan untukku, menyamaratakan semua hal dengan istilah ‘menderita’.

 Simpel. Barangkali aku yang menderita, karena aku lah yang merasa tak seikhlas itu demi mempersepsikan upayamu yang tampak ‘menderita’. Dan aku lupa, ketika kita tak akan pernah bisa mengukur sesuatu yang abstrak dengan logaritma, maka hanya satu alat ukur yang bisa mengukurnya secara tepat. Perasaan.

Dan aku menjawab, sadar bahwa ini seperti tamparan, tapi entah untuk siapa,

“Oke, maka menderitalah kamu, kalau memang kamu lebih suka tampak menderita, bahkan di mata-orang-orang…”

“Aku, tak peduli orang lain berkata apa, tak peduli pikiran mereka ditujukan untuk tujuan apa. Karena dengan siapa aku menjalin ikatan adalah bukan dengan mereka, tapi denganmu.”



**



Aku, seperti kamu, tak lagi menghitung waktu,

Sudah berapa lama kita berlalu?

Ah, mungkin kita memang tak butuh itu

Disini



**



Berpuluh-puluh tahun lagi, semua boleh saja berubah. Tapi tidak tentang teori ikhlasmu itu. Aku masih akan tetap mengenalmu sebagai seseorang di awal kita bertemu. Tanpa sesuatu yang berlebihan, over-dramatis, ataupun bunga di tangan.

“Kamu tak boleh sombong, jika kelak ada Audi menemani langkahmu, rumah sebesar 3x lapangan bola, serta perut buncit mirip pejabat di gedung rakyat, dengan gaji berkoper-koper. Kenapa? Karena aku akan sangat kehilanganmu.”

Nyaman, tak akan pernah bisa digantikan oleh apapun. Karena seberapa keras usahamu untuk menata, mencampur, mengurangi, menambahkan—kamu, akan tetap seperti bagaimana pertama kali aku mengenalmu. Sesayang itulah aku.




Depok, 14 Desember 2009 







7/24


secangkir kopi
untuk malam sunyi
untuk makalah seperempat jadi
besoknya ngantuk sekali
yang penting hasilnya (lumayan) rapi
so, goodluck hei honey :) 



**




hello there, it's me!
another huge-doggie-puff so fluffy
jump jump jump 
and I feel so sleepy
pinky-fatty-but-lovely
and ooh--it will be so long time ago meet (again) mr. I! 



 big thx, I. Boneka ini gendut!!



  

Selasa, 14 Juni 2011

My Baldy Ballad


“Hidup itu seperti menimba air… Ke atasnya susah, tapi untuk menjatuhkannya—kamu hanya perlu melepaskan tanganmu.”
“Maka aku lebih suka melepaskan tanganku.”

**

Americano, satu.”
“Tunggu sebentar.”
“Jujur, aku benci orang botak. Kepala mereka—sangat mudah untuk dijitak, tepatnya, menantang untuk disepak. Tahukah kamu?”
“Tidak.”
“Aku juga benci kopi. Kopi itu seperti selapis topeng. Aromanya yang harum dan sedikit menusuk. Membuat semua orang bertahan begitu lama di tempat seperti ini, demi satu cup kopi. Padahal lidah mereka jelas-jelas merasakan getirnya.”
“Toh, kamu bertahan disini. Dan kamu, memesan Americano. Seperti kebanyakan mereka.”
“Aku hanya mengikuti apa yang disebut orang dengan umum—kebanyakan. Aku tak mau menjadi aneh. Hei, apa yang kamu benci?”
“Aku benci orang berambut ikal.”
“Aku dong?”
“Mereka—tidak punya kegiatan selain mengikal rambut sepanjang hari. Menghabiskan waktu luang yang mereka punya untuk memutar-mutar rambut dengan alat panas, alih-alih bersyukur.”
“Bagus, berarti kita saling membenci.”

**

“Sial!”
“Kenapa?”
“Sekalipun, aku tak pernah berhasil membuat kopi yang enak! Gilingan  kopiku pasti tampak aneh.”
“Karena kamu membencinya.”
“Tapi aku butuh pekerjaan ini.”
“Butuh, dan cinta—adalah dua hal yang berbeda.”

**

“Kenapa kamu berhenti?”
“Apakah kamu tak bisa melihat? Kini, kepalaku sama sepertimu. Tanpa penutup apa-apa. Kemo ini menghancurkan hidupku.”
“Mana? Masih ada topi rajut itu di kepalamu…”
“Aku ingin menjitak kepalamu.”
“Demikian pun aku.”
“Jangan datang lagi. Aku benci kamu.”
“Aku tak akan datang lagi.”

** 

“Apa itu di kepalamu??”
“Ini rambut ikal.”
“Tapi kamu membencinya. Kamu menghabiskan waktu untuk mengikal rambut palsu itu.”
“Kamu—menghabiskan waktu untuk membenci kepala botakmu yang baru. Tidakkah kita sama? Aku akan bertukar peran denganmu.”
“Dengan wig ikal itu kamu lebih mirip banci.”
“Dengan kepala botakmu itu kamu lebih mirip rekan baristamu yang selalu ingin kau jitak.”
“Kamu gila. Aku sudah bilang, kamu jangan datang lagi. Aku benci kamu.”
“Kamu bilang—kamu benci aku, yang berkepala botak. Kini, aku tak lagi botak. Kamu yang botak.”
“…”

** 

“Kamu datang lagi?”
“Ya.”
“Aku nyaris selalu mengusirmu sepanjang hari.”
“Sudah aku bilang. Tak ada alasan untukmu membenciku. Rambutku ikal.”
“Itu wig.”
“Kamu tak pernah bilang membenci wig.”
“Kamu—membenci rambut ikal. Wig itu ikal. Kamu harus mengikalnya sesekali. Kamu membencinya.”
“Pelajaran bahasa Indonesiamu mengenai premis pastilah mendapat nilai sempurna.”

**

“Aku menyerah. Tenagaku habis. Aku capek pura-pura aku kuat. Tapi aku lemah.”
“Kamu tak boleh menyerah.”
“Aku bahkan tak bisa mengikal rambutku.”
“Nih, pakai wig-ku.”
“Aku akan membencimu ketika kau tanpa wig.”

** 

“Aku mengingat dengan jelas setiap kalimatmu. Aku, lebih suka melepas tanganku. Karena rambutku sudah botak, maka kita impas. Dan aku siap bergumul dengan tanah. Terimakasih, my baldy ballad.”

Odin membaca sekilas tulisan di atas tisu bekas itu, tertulis kasar dengan bolpoin hitam.
“Terimakasih, Nak. Wig ini telah menemaninya di sisa hari.”
Selamat jalan, Sya—si ikal pembenci kepala botak dan kopi.








Apa, bedanya prihatin dan menderita? Semacam keduanya adalah tiket kasatmata untuk mencapai kebahagiaan yang ultimatum. "Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian..." 

Bedanya, adalah bentuk ikhlas yang digunakan... *sigh*



Rabu, 08 Juni 2011

Day #3 Sembunyi di Saku




Haha. Hari ketiga… hari di PG masih seperti kemarin. Beberapa anak yang kemarin tak tampak, kini hadir. Dan masing-masing anak, mulai bisa kami notifikasi #halah.

Hari ini anak-anak berlatih untuk pentas beberapa saat mendatang. Ada dua pentas yang hendak dibawakan anak-anak PG ini, ‘tarian’ Sluku-sluku batok’ dan hafalan doa. Jangan ditanya seperti apa? Karena atensi mereka yang kemana-mana, pastilah cukup kewalahan mengajari mereka. Ups, saya dan T hanya menonton, sesekali ikut menari dan bertepuk saja :p

Hafalan doa 


Sluku-sluku batok. 
Lihat anak yang berpeci putih? Anak ini menghabiskan waktunya, most of all
untuk menangis. Apapun bisa membuatnya menangis. Bahkan pada saat latihan menari, dia lebih memilih untuk menangis... =,=


 "Ayooo bergerakk anak-anak!!"
 "..." 


anak yang sebelah kanan ini hobi sekali menjawil saya, 
kemudian lari menjauh... 



Dan entah kenapa, setiap pulang pasti ada kejadian-kejadian yang ‘ah-ya-ampun’ dari anak-anak PG ini. kali ini cast-nya adalah trio anak laki-laki yang hobinya selalu bertiga—Valen, Bagas, dan Aska : mereka nakal, aktif, menonjol. 



Kira-kira begini kekonyolan mereka,


Bu D               : “Loh, Valen. Kaos kakimu mana? Kok cuma satu?? (kaos kaki yang kiri entah kemana)

Valen             : “Tadi disembunyiin Bagas, Bu…”

Bagas             : (nggak terima) “Nggak! Aska!” (nunjuk Aska)

Aska               : (juga nggak terima) “Bagas! Bukan aku, Bu!”

Bu D               : “Sudah! Ayo dicari! Nggak sholeh itu! Bagas!”

Bagas             : “Aska, Bu! Bukan saya! (mukanya rada bete)

Aska               : “Kamu!” (nunjuk Bagas)

Bagas             : “Kamu!!”

Mereka berkamu-kamuan sampai beberapa kali…

Bu L                : “Aska! Bagas! Ayo berdua dicari! Diletakkan dimana tadi!?”

Aska&Bagas : “…”

Bu D               : “Bagas! Aska! Ayo! Mau pulang, kan?”

Aska diam saja. Tak bergeming, tetap duduk dengan mukanya yang rada sombong (kayaknya tampang sombongnya itu juga gara-gara efek alis deh, alisnya rada mencuat…). Tapi Bagas langsung bangkit, dengan muka mengkerut. Langsung menuju belakang prusutan (apa sih, bahasa indonesianya?? Lupa…) sampai kebawah-bawah kolong, demi mencari kaos kaki Valen yang sebelah kiri. Saya, T, Bu D, Bu L, dan anak-anak lain cuma celingak-celinguk dalam keheningan.

Bu D (tanya Valen, sementara Bagas masih mencari) : “Tadi kenapa kamu lepas?”

Bu L                : “Kalau habis pipis dipakai lagi kaos kakinya…”

Valen             : “Nggak aku lepas, Bu…”

Bu D               : “Kalau nggak dilepas, nggak mungkin hilang…”

Valen             : “Nggak hilang, Bu… (tangannya merogoh-rogoh kantong kanan, dan TADAAA… RUPANYA KAOS KAKINYA DARI TADI DI DALAM KANTONG—dan dia diam saja. Valen mengacungkannya ke udara dengan tampang inosen sekali)

Bu D, Bu L, saya, T  : “…” (antara tertawa, gemas, tak habis pikir)

—padahal jelas-jelas kelas ‘meributkan’ kaosnya, Aska dan Bagas sampai bertengkar gara-gara kaos kaki itu, sementara Bagas sibuk mencari-cari di bawah kolong. Ternyata kaos kaki itu dari tadi diam manis di kantong. Duh.

Bagas nongol dari balik ayunan plastik, dengan tampang putus asa tak menemukan kaos kaki Valen. Saya pas bertatapan muka dengan dia, dan memberi isyarat setengah berbisik, 

“Yuk, duduk. Sudah ketemu…”
Dia langsung duduk dengan bingung...
  

Hehh…what a day! :)


(di)sempat(kan) narsis! :p