Minggu, 29 Mei 2011

Aku, Reja, dan Andri






“Aku suka sama Reja.”

Uhukhoek!

Secangkir latte langsung kandas. Auli hanya bisa meringis menahan perih dan efek kebas sesaat. 

“Maaf…”

“Kenapa harus kamu…?”   


** 


“Oya, kenalin Ja, ini sobatku.” Auli sibuk memperkenalkan kedua orang yang asing satu sama lain itu. Yang satunya sahabat kentalnya, yang satu lagi…ehm…calon gebetan.

Kedua orang dihadapan Auli hanya saling mengangguk sopan dan bersalaman ala kadarnya.

“Sori Ja, aku buru-buru banget nih, Ntar lagi ya aku telepon, deh.” Auli buru-buru kabur dari tempat itu, menghindari Reja. Beberapa belas meter berselang,

“Kenapa sih?”

“Aduuuhhh…aku suka salah tingkah di depan Reja! Daripada lagi-lagi berbuat bodoh, mending kabur sekarang, deh.” Auli masih saja setengah berbisik sambil memasang tampang waspada, jaga-jaga kalau Reja nongol tiba-tiba.

“Oh…”

“Hmm.”

So, kamu serius suka sama Reja?”

“Iya.”

“Apa sih, istimewanya dia?”

“Klise atau beneran nih?”

“Dua-duanya?”

“Klisenya, dia baik, perhatian, charming, kinda Mr. Right that I ever dreamed about…”

“Yang beneran?”

“…aku juga nggak ngerti, kenapa dia sebegitu menariknya. Ketika aku lebih banyak menemukan sisi negatifnya, tapi aku masih saja berpikir bahwa dia Mr. Right. He’s the it man.”

“Kamu bodoh, berarti?”

“Iya ya? Nggak apa-apa, deh.”


** 


Espresso berpadu Ernest Hemingway, di antara hujan rintik-rintik. Hmm, nikmat.

Akhir-akhir ini Auli punya hobi baru, ngendon di pojokan hangat kafe kecil yang baru buka seminggu lalu. Atmosfirnya sangat menyenangkan. Cocok untuk melarikan diri sesaat dari rutinitas. Siang ini, Auli seorang diri. Teman janjiannya bakal telat gara-gara ada sedikit urusan.

Mata Auli tertumbuk pada halaman kelimapuluh, ketika ponselnya bergetar.

Reja?

Jantung wanita itu langsung berdetak terlalu kencang mendapati nama Reja di layar ponselnya.

Damn! Aduh, sial—deg-degan segala.

Saking tegangnya, siku Auli menyenggol cangkir espresso-nya dengan cukup keras. Latte art dalam espresso Auli mendadak buyar, bercampur warna.

Tapi rupanya, pesan singkat dari Reja lebih membuyarkan pikiran Auli dalam sekejap, lebih daripada latte art yang melebur itu.

Tanpa menyentuh cangkir espresso-nya yang setengah hangat, Auli bergegas mengambil hand bag Samsonite-nya, sekaligus Ernest Hemingway yang mendadak begitu menjemukan.

Latte art jantung hati dalam espresso Auli semakin samar, seiring secangkir yang dingin itu.





** 


“Aku mau jalan sama Reja, yippie! Mau nitip apaan?”

“Malam ini?”

“Sore ini—“ Auli mengoreksi. Dalm hati wanita itu tak henti mengagumi pantulan dirinya di cermin. Oh, kenapa sih, hanya perasaan berbuncah bernama cinta yang bisa membuatku merasa secantik ini?

“Nggak, deh. Gara-gara kamu ada kencan—berarti aku sendirian, ke mini concert jazz itu?”

Auli tertawa mendengar keluhan sahabatnya. Sudah beberapa minggu ia intens berjumpa dengan Reja—the only one future Mr. Right.

“Cari pacar, lah. Masa nggak ada yang berminat sama kamu, sang manager eksekutif?”

“Cih—haha. Sudah jam segini, berangkatlah.”

Jari Auli baru memutar kenop pintu, saat ia teringat sesuatu,

“Eh—beberapa kali Reja nanyain kamu, kira-kira kapan bisa ketemu? Dia tertarik dengan lini usaha perusahaanmu.” 

“Oh—oke. Besok deh, aku hubungin dia.”


** 


Espresso lagi, kali ini tanpa rintik-rintik. Dan tanpa Ernest Hemingway.

Sebenarnya malam ini Auli ada janji dengan Reja, tapi mendadak pria itu membatalkan janji di detik-detik terakhir. Dan biasanya ia akan mencadangkan sahabatnya ketika ‘ditinggal’ Reja. Sayangnya si sahabat juga mendadak tak bisa tepat waktu menemani.

Sesosok orang menerobos masuk kafe kecil itu, mendekati meja Auli.

“Aduhh, lama deh!” ringan Auli memeluk sahabatnya, ber-cipika-cipiki seperti biasa, ritual wajib mereka.

“Maaf.”

Deg!

“Parfum mu…ganti?”

“Nggak. Kenapa?”

“Oh—nggak. Baunya lebih enak.”

“Nggak kok, sebentar ya, aku pesan sesuatu dulu di bar.”

Yang diajak bicara mengangguk singkat. Memandangi sahabatnya dari kejauhan, Auli menelan ludah dengan sangat terpaksa. Bertahun-tahun berkawan, Auli tahu dengan pasti parfum favorit seumur hidup sahabatnya itu.

Ponsel Auli bergetar.

“Halo?”

“Halo—hei, Li. Aku tadi mampir apartemenmu tapi kamu nggak ada, mau balikin Zara. Oiya, tadi aku ketemu Reja, sama sahabatmu—aduh, siapa itu namanya? Eh—“

Klik.

Reja?


** 


“Aku suka sama Reja.”

Uhukhoek!

Secangkir latte langsung kandas. Auli hanya bisa meringis menahan perih dan efek kebas sesaat. Di hati, bukan di tenggorokan.

 “Maaf…”

“Kenapa harus kamu…?” kepala Auli jadi pening sendiri. Pasti telinganya salah mendengar. Halusinasi. Ya! halusinasi. Pasti gara-gara over caffeine. Pasti!

“Maaf, Li. Aku salah…”

“Kenapa harus kamu… Andri, kamu kan sahabat baikku… kenapa harus Reja??!!”

Andri, si sahabat, hanya bisa tertunduk. Mungkin, kalau otaknya adalah radio, dan radio itu bisa memutar soundtrack-nya pada detik ini, Sobat-nya Padi bakal jadi pengiring perasaannya yang paling tepat. Ia adalah sahabat—sahabat laki-laki—yang berselingkuh dengan pacar sahabat perempuannya!

Jantung hati di latte art Andri, langsung lumer diantara espresso. 






Kamis, 26 Mei 2011

#mau daftar kuliah, mbak?




Percakapan ini terjadi ketika saya berada di sebuah mobil Carry yang ‘menyamar’ menjadi angkot di tengah kota Solo. Rencananya hari itu saya hendak mengikuti tes salah satu perusahaan yang diadakan di aula perpustakaan UNS. Hanya ada 2 orang di dalam mobil tersebut : saya dan si sopir.


Sopir  : “Ini mau kemana, Mbak?”

Saya  : “UNS, Pak.”

Sopir  : “Oh, mau ndaftar kuliah ya Mbak?”

Saya  : “…”

Sopir  : “UNS itu bagus lo Mbak, tapi Mbak kudu berjuang. Saingannya susah, pinter-pinter…se-Indonesia.”

Saya  : “…”

Sopir  : “Mbak dari mana?”

Saya  : “Jogja, Pak.”

Sopir  : “Oh, nanti ngekos aja, Mbak. Di daerah *** daerahnya aman, Mbak tinggal jalan kaki ke kampus, deket, Nggak usah mikir ongkos transport.”

Saya  : “…”

setelah sekian menit berlalu dalam perjalanan... 


Sopir  : “Sudah sampai, Mbak.”

Saya  : “Oya. Terimakasih, Pak.”

Sopir  :  “Saya doakan semoga keterima di UNS ya, Mbak!”
Saya  :  "... amin. Terimakasih, Pak..."


Hari itu—apakah penampilan saya yang jelas-jelas mencari kerja memang lebih tampak seperti pencari universitas? Atau—apakah saya sangat imut sehingga dikira lulus SMA? Dunno. Anyway, terimakasih atas bapak sopir yang ramah sekali itu :)


M for Maliq : Pamer *devilaugh*


Kemarin Jumat (20 Mei 2011) gara-gara kecipratan rejeki dari seorang teman, saya jadi bisa nonton Maliq—private concert—di TBY, gratis!—yaiyy (private—bila dibandingkan konser biasanya yang begitu bejibun penonton :p). Sebenarnya acara tersebut adalah rangkaian Movies Night Out—kerjasama Kaskus dan Simpati. So much fun :) Saya mendapat free snack, goodie bag, dan perform  Maliq yang oke. 
 

salah satu properti event


btw, bruwet sekaliiii gambarnya T.T




 sekedar penikmat suara--alasan kenapa saya menjauh dari stage 
(agar bisa tetap keluar tanpa terjepit)


 another blur shoot :p


properti yang paling sering jadi sasaran narsis


goodie bag niat buat golden ticket 


foto TERJELAS Maliq :* 





Kamis, 19 Mei 2011

Adam Lambert – No Boundaries *press play*




“Iya, kamu dapet pembimbing Bu ***.”

“Hah!?”

**

Adam Lambert – No Boundaries   *press play*

Just when you think the road is going nowhere

Just when you almost gave up all your dreams

They take you by the hand and show you that you can

There are no boundaries

**

Campur aduk mirip gado-gado. Kira-kira begitu rasanya pas pertama kali dapat pengumuman nama dosen pembimbing skripsi tercinta. Rada stress—tepatnya—mengingat si ibu yang sibuk itu sedang tambah sibuk karena merawat suaminya. Ya, suaminya menderita kanker. Saya—yang orangnya nggak enakan dan nggak tegaan, kudu memberanikan diri untuk rajin ngapel si ibu, demi mengejar tenggat Februari. Entah apa yang saya kejar sebenarnya—apakah demi menghindari omelan ibu saya yang tak henti-hentinya mengomentari skripsi saya yang tak selesai-selesai (for God’s sake, padahal saya angkatan yang masih hijau *it means, bahkan kalau saya mau masih ada bertahun-tahun jatah sebelum kena DO—tapi tentu saya tak sebodoh itu*), atau keinginan untuk menyusul ‘seseorang’ ke kota kejam berawalan J gara-gara capek long distance relationship, atau muak setiap hari kudu memelototi antara laptop, jurnal dengan huruf kecil-kecil bahasa inggris yang bikin pusing, atau insomnia di saat semua orang sedang bermimpi indah. Kemungkinan-kemungkinan itu benar-benar mendorong saya untuk segera keluar dari lubang buaya, ternyata.
 

Seconds hours so many days 

You know what you want but how long can you wait
 

Bulan-bulan awal saya masih semangat ’45, menyingsingkan lengan baju demi menggarap skripsi. Lama-lama? Sungguh, saya muak. Tapi saya benar-benar tak punya sesuatu (--atau seseorang?) yang bisa saya jadikan tong sampah. Sayangnya belum ada. Saya tidak bisa cerita kepada orangtua saya, karena mereka akan lebih menangkap bahwa saya mengeluh—alih-alih saya sebenarnya mulai merasakan tekanan batin. Dengan teman? Sangat tidak solutif, karena sejujurnya curhat dengan teman seringkali hanya memberikan penghiburan semu (saya rasa, tidak ada teman dalam fase yang sama yang akan sepenuh hati mendukung semangat kita—yang ada (mungkin) mereka sedikit berbisik dalam hati dengan iri kenapa temannya melaju begitu kencang. Paling pol saya dikomentari, “Kamu ngapain sih, cepet-cepet banget? Nyantai dikit lah… “ Geez. Prioritas tiap orang, memang berbeda, sih). Pacar? Tumpuan terakhir ini tentu lebih sulit dijangkau lagi—secara harafiah—karena kami ber-long distance  ria.


Seconds hours so many days 

You know what you want but how long can you wait

Every moment lasts forever

When you feel you've lost your way


            Pacar saya, kakak angkatan saya, teman-teman saya, bahkan orangtua saya, pasti tahu betapa stressful-nya fase tugas akhir. Tapi tetap saja, semua orang menjadi begitu tak paham kondisi menyebalkan yang saya alami. Keluar dari penelitian payung, memulai dari nol besar, salah skala, suami dosen pembimbing meninggal, kemudian disambung dengan putra beliau mengalami kecelakaan… belum lagi ketidakcocokan antara teori, skala, dan pembahasan menjelang detik-detik sidang—sumpah! Sepet sesepet-sepetnya. Dan masih saja ditanyai, sidang kapan? Lulus kapan? *so RAARRWWR

Memang tak bisa, ketika berharap semua menjadi sesempurna rencana kita, kan?



What if my chances were already gone

I started believing that I could be wrong



Waktu kemarin saya ngebut skripsi, terus terang saya sudah hampir sangat menyerah. Beberapa minggu yang tergadai karena Merapi ngamuk, suami dosen berpulang, dan kecelakaan parah putra beliau—praktis menggerogoti hari minimalis konsultasi saya. Semua orang begitu yakin bahwa saya akan tembus Februari (entah atas dasar apa)—yang sangat menekan saya. Mungkin, memang tak ada yang bisa menyelamatkan waktu yang berputar cepat selain keajaiban dan secuil keyakinan.



I fought to the limit you stand on the edge

What if today is as good as it gets


Tapi ternyata yang namanya skripsi—suka-nggak-suka, pahit-nggak-pahit—kudu dijalani. Pilihannya cuma maju atau diam. Bisa saja sih, saya diam. Sebodo amat sama omongan orang, yang penting saya eksis. Hahaha. Tapi toh, saya hanya akan menunda sesuatu yang pada akhirnya tetap harus saya hadapi, kan? Sama saja, ketika saya berharap saya bisa lompat hari, tau-tau saya sudah sidang, atau wisuda—tanpa mau repot menghadap dosen yang selalu menemukan cacat dalam kerjaan saya—dan saya sadar itu adalah doa orang bodoh :) Ketika (akhirnya) saya, bisa wisuda lebih awal dari teman-teman saya, boleh lah saya sombong, semua penghargaan dan pujian itu memang patut ditujukan pada saya, karena toh yang jungkir-balik mau gila adalah saya sendiri. Hahaha (jadi berpikir, kenapa saya tidak menulis halaman persembahan untuk diri saya sendiri, ya? Atas dedikasi, semangat, dan perjuangan tidak kenal lelah atas kegilaan tugas akhir selama ini xp Beneran deh, saya malah kudu berterimakasih kepada de*an yang barangkali tidak berkontribusi apa-apa selain membubuhkan tandatangan berharganya itu—tentunya setelah bolak-balik menanti di lorong. Hehe *ups, no offense Sir!)

**

Itu adalah cerita saya beberapa bulan lalu. Sekarang, cerita saya sudah berganti. Hari ini adalah ulangbulan ke tiga saya resmi menyandang gelar jobseeker. Skripsi yang pada waktu itu saya anggap sebagai ujian mahadahsyat, mendadak menjadi tak berarti. Dan saya semakin akrab dengan kosa kata alay, #galau. Saya sebenarnya menikmati libur panjang ini, saat dimana saya bisa bangun siang dan jalan-jalan kemana-mana tanpa perlu ada tanggungjawab berarti. Tapi mungkin orangtua saya gerah, demi melihat saya bermalas-malasan tiap hari. Maka komentar mereka pun jadi lebih merepet. Duh…

Saya tahu, kali ini tak ada yang bisa menyelamatkan saya dari fase ini—tidak lagi masalah dosen, tidak lagi masalah jurnal yang susah, tidak lagi masalah mengejar yudisium—bahkan mungkin pacar saya pun dalam hati akan menyontek Kings of Convenience, “I don’t know what I can save you from…” 
Saat skripsi, separah apapun keadaan saya, saya tahu dengan pasti bahwa saya akan lulus—entah bagaimana caranya. Sama seperti ketika saya lulus SD, saya pasti akan masuk SMP, dan dari SMP saya akan melanjutkan SMA, kemudian perguruan tinggi. Tapi kini, tidak sesimpel itu. Saya galau, karena lebih tidak mungkin menebak pola pikir perusahaan yang menjadi incaran saya, kan? Lebih tidak mungkin, menebak takdir saya sekarang ini.



Don't know where the future's headed

Nothing's gonna bring me down

Jumped every bridge I've run every line

I risk being safe, I always knew why

So here I am still holding on

With every step you climb another mountain

Every breath it's harder to believe

You'll make it through the pain

Just when you think the road is going no where

Just when you almost gave up all your dreams

They take you by the hand and show you that you can

There are no boundaries




Kita—saya, memang tak akan tahu kemana kaki ini berlabuh.









* No Boundaries – Adam Lambert, benar-benar mampu menguatkan di fase terburuk—sama baiknya seperti doa *proud*  Penggalan ini sebenarnya nggak ada apa-apanya dengan perjuangan rekan lain yang lebih heboh dari saya. Tapi bagi saya sih, hal sesimpel ini pun tetap jadi pembuktian--bahwa saya pun bisa menyelesaikan 'sesuatu' yang menjadi momok mahasiswa tingkat akhir. Hahaha. Terutama, percayalah, menyelesaikan tugas akhir jauh lebih nggak ada apa-apanya daripada ketabahan mencari penghasilan *curhat mode : on*









Senin, 16 Mei 2011

Orang menyebutnya #Galau





Sampai saya menuliskan dan sukses memposting tulisan ini, status saya masih berkitar pada area ‘pencari kerja’.

Menyebalkan? Ya. Saya sedang menanti dua pertaruhan yang bikin perut saya tergelitik, sensasi mual, dan insomnia tengah malam. Paranoia saya berkembang pada setiap telepon dengan nomor asing, SMS dengan nomor tak dikenal, selama beberapa minggu terakhir ini. Menyebalkan? Ya.

Rasanya saya ingin tidur dan voila! Saya telah meraih satu. Urik ya? Memang. Masa penantian pasca ber-toga, itu jauh lebih menggelikan—kalau saya boleh menyederhanakan kata ’mengerikan’—daripada jam-jam panjang nan bosan menanti dosen pembimbing di lorong. Lebih menegangkan, menanti panggilan jackpot mana lagi yang hadir di e-mail saya, di handphone saya, alih-alih maju sidang. Enam bulan di depan laptop, dalam perpustakaan, mengintip diantara buku tebal dan berdebu, tidak ada apa-apanya dengan perjuangan setelah ini. Dan rasanya, antara skripsi dan mencari kerja bagaikan keluar dari lubang buaya masuk ke mulut singa, jika posisimu cenderung ngambang :D



Minggu, 15 Mei 2011

Kere Munggah Bale




Walah Nduk, arep golek opo ning Jakarta? Ora iso urip…”


Sri menahan napas. Meyakinkan Simbok memang lebih dari suatu upaya besar.


Saged, BuneLik Parman menawi sampun ngendika…?”


Simbok cuma bisa gedhek-gedhek. Khawatir, namun tak kuasa melarang putri sulungnya. Selama ini hanya Sri yang bisa menanggung kehidupan mereka yang sederhana. Seiring waktu, upah Sri sebagai buruh cuci di kampung tentu tak seberapa mengingat harga sembako yang menyiksa tajam rakyat kecil dengan kejam. Kini ada kesempatan langka yang ditawarkan si paman, bahwa Jakarta menjanjikan. Sri mengabaikan fakta, bahwa setiap menit perantau berniat baja menjejak Senen kemudian hanya berakhir bak teri, berjejalan di gang kumuh dan bau—mengendapkan impian mereka jauh-jauh di kolong ranjang apek penuh kecoak. Yang bisa menyelamatkan impian muluk itu barangkali cuma keajaiban, jika kerja keras bahkan dianggap non-sense.



*** 



Sliramu kok ning Jakarta barang, tho, Sri? Nek aku kangen piye?”


“Mas Tarjo, Mas Tarjo… nek sampeyan kangen yo tinggal ke Jakarta tho…”


“Jakarta ki adoh, Sri…” Tarjo bergumam, tidak kepada Sri, tapi kepada dirinya sendiri. Membayangkan berapa rupiah yang harus ditebus dengan menjadi petani serabutan demi menjumpai kekasihnya. Ah…



*** 



Sontoloyo!”


Sri mengumpat-ngumpat pelan. Di hadapannya teronggok sebuah pel lengkap dengan si ember. Sementara Sri sibuk mengurut-ngurut dadanya agar seluas samudra, Dio—anak majikannya—dan seorang anak laki-laki yang tak kalah bandelnya justru bolak-balik keluar-masuk rumah dengan sandal kotor penuh lumpur. Yah, diluar hujan.


Sri tidak lugu. Ia tahu sebagai lulusan SD, posisi terbaik dari megapolitan bernama Jakarta adalah menjadi pembantu. Itu patut disyukuri. Meski menjadi bagian kasta sudra sedikit melecehkan batinnya yang memberontak diam-diam. Di kampung sana, posisinya jauh lebih terhormat. Ia adalah kembang desa yang aktif sebagai bagian karang taruna setempat. Disini? Semua pesonanya mentok pada nasib sebagai upik abu.



*** 



Hari ini, Ira—majikannya yang mentereng itu—lebih lama berada di rumah. Sibuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari kamar tamu, hingga menu. Oh, rupa-rupanya kawan Ira dari Belanda sana—katanya sih kawan semasa kuliah dulu—hendak mampir di rumah ini diantara kunjungan bisnisnya. Dan Ira, yang dasarnya memang perfeksionis, repot mempersiapkan menu dan memilih untuk tidak ngantor. Jadilah Sri seharian ini pontang-panting membelah diri untuk melakukan aktivitas beberes dan membantu Ira masak. Menunya aneh-aneh, lidah ndeso Sri tak sanggup melafalkannya tanpa ambyar. Apa itu huzaren sla, bruinebonen soup, poffertjes… ah entah bentuk seperti apa itu. Dengan kikuk ia membantu Ira memasak menu-menu tadi.


“Aduh, Sri! Jangan seka keringatmu dengan tangamu yang memegang adonan donggg…”


“I-iya Bu…”


Berjam-jam kemudian, badan Sri berasa remuk. Pegal-pegal dan tengengen. Tubuhnya ngotot ingin direbahkan barang semenit-dua menit. Tapi Ira yang cukup galak namun aslinya baik itu tak mau tahu. Sri harus bersiap dan rapi sebelum jam enam! Sekilas wanita bergelung seadanya itu melirik jam di ruang tengah. Jam setengah enam. Karena posisinya hanya sebagai babu yang dibayar, ia pun patuh.


Sambil gebyar-gebyur menikmati guyuran air—Sri sangat menikmati mandi modern dengan bak mandi dan kamar mandi berkeramik, di kampungnya boro-boro ada kamar mandi, jamban saja sudah bersyukur…belum lagi ia harus nimba dulu—ia berpikir heran. Kenapa majikannya tampak sangat antusias menyambut si tamu ini? Dalam hati Sri sudah bertekad, ia akan menyembunyikan diri dalam-dalam di sudut dapur jika tidak dipanggil Ira. Bisa gawat kalau ada bule ngajak dia ngomong sementara ia hanya bisa bergagu-gagu tak paham!



***



“Sri, tolong pudingnya di kulkas dibawa sini,” suara Ira terdengar hingga dapur.


Bergegas, wanita berkulit sawo matang cenderung gelap itu mengeluarkan puding dan tergopoh-gopoh ke meja makan, tempat hajatan sederhana berlangsung. Sekilas ia bisa melihat majikannya berdandan rapi jali, sederhana—namun menunjukkan kelasnya. Hanya Dio yang tampak ogah-ogahan dalam kegiata beramah-tamah ini. Tak lama berselang putra semata wayang majikannya itu menghambur ke kamarnya.


Sri menunduk sembari meletakkan pudding tersebut di atas meja dengan agak gemetar. Namun ia bisa merasakan tatapan sepasan mata yang cukup tajam menembus ubun-ubunnya. Lalu buru-buru beranjak kembali ke tempat dimana seharusnya ia berada. Takut diajak ngomong bule.


“Sri?”


Sebuah logat dengan aksen yang kental melafalkan namanya sementara ia berbalik. Darah Sri tersirap. Deg-degan luar biasa. Ia tetap menunduk dan mempercepat langkah. Aduh, salah opo aku??
 

“Oh, dia pembantuku. Baru datang dari kampung… Pudingnya, Ric? Aku yang membuatnya khusus untukmu...”



***



Siang yang terik. Sri sibuk mengupas kentang di beranda belakang, mencari suasana lain.


Din!


Suara klakson mobil majikannya. Sri meraih baskom berisi kentang—meletakkannya serabutan di dekat tempat cuci piring. Bergegas membukakan pagar. Heran juga melihat Ira tidak pulang selepas maghrib seperti biasa.


“Kok tumben sudah pulang, Bu?” Sri berusaha mengimbangi langkah panjang dan mantab sang majikan, mengikuti ke arah ruang tengah sebelum berlalu sesaat ke dapur mengambilkan segelas air dingin untuk wanita muda itu.


Ira mengangkat bahu. Ia menghempaskan diri di atas sofa. Sedikit kusut. Hmm, betapa Sri sangat mengagumi Ira—muda, cantik, mapan, dengan karir cemerlang, meski terpaksa single. Kapan yo, aku iso koyo Bu Ira…?


“Eric pengen ketemu kamu.”


Membayangkan dirinya bersalut baju bermerk mahal, kendaraan mentereng—wah… Simbok pasti bakal potong kambing, eh, sapi malah! Tidak lagi jalan tertunduk-tunduk, melainkan membusungkan dada dengan dagu terangkat—eh, Bu Ira bilang apa, barusan?


“Sri! Denger omonganku, nggak? Eric—bule temenku kemarin, mau ketemu kamu!”


JEGLER!


Sri terpaku. Mau melongo juga tak bisa saking kagetnya. Bule kemarin? Yang melafalkan namanya dengan aneh?


“—heran aku, selera bule dari dulu kok nggak pernah bener. Udah dikasih sinyal kok nggak paham-paham, dasar bule bego! Udah bagus juga di depannya ada cewek cantik kayak aku, mapan, kulit terawat, wangi… eehh…tetep aja milih pembantu. Babu! Kalah sama babu! Aduh maaf, Sri—"


Sri mengangguk pahit, sementara pikirannya berkecamuk antara mendengarkan celetukan ceplas-ceplos Ira yang menghina, dan ketidakpercayaan pribadi bahwa ia mendadak beruntung.


Entah apa lagi yang berloncatan dari bibir indah Ira. Sri hanya menangkap sekilas kepulan asap rokok mentol seiring berlalunya Ira. Ia bersimpuh di atas lantai, setengah bengong. Mencubit-cubit lengannya dengan keras.


“Duh. Sakit.” Sri meringis.


Wah, kalau ini… tenanan koyo paribasan kere munggah bale… Sri pening sekaligus gembira.


*** 



Tarjo tercenung di ujung kali. Mengamati air yang berkeliuk-liuk membelah bebatuan. Baru saja ia diberitahu Simbok. Bulan depan Sri akan menikah. Ya menikah. Bukan dengan dirinya, petani serabutan miskin yang tak sanggup bahkan menyusulnya ke Jakarta, seseorang yang dipacari Sri selama hampir lima tahun. Tapi dengan bule! Bule Belanda! Perasaan Tarjo begitu hampa, hancur. Ia tak habis pikir dan meratap, kenapa pujaan hatinya lebih memilih bersama bule kompeni yang baru dikenalnya… apa karena ia kurang kaya? Kurang tampan? Pupus sudah harapannya untuk bisa menjumpai Sri lusa, saat ia telah berhasil mengumpulkan uang hasil bekerja dan meminjam sana-sini. Sia-sia sudah. Untuk apa lagi dia hidup? Hujan yang semula rintik-rintik mendadak menjadi deras dan menampar-nampar. Teriring suara bledhek di siang bolong, Tarjo nyemplung kali.