Rabu, 30 Maret 2011

Gap between us : Oh-so-reasonable to solve




Saya tak bisa lupa beberapa teman yang tahu-tahu datang dan curhat pada saya, sambil berkata (well, sebagian besar memang kaum adam :p),

“Aku bener-bener nggak betah sama dia. Dia tu kekanak-kanakan banget. Dikit-dikit minta putus. Dikit-dikit putus…”

“Gertak sambel aja, mungkin…” sahut saya sambil tersenyum-senyum simpul.

Sejauh ini, tak ada yang salah dengan keluhan mereka, para adam. Masalahnya adalah, mereka berkata seperti itu tentang kekasih mereka, yang notabene memang berada beberapa tahun di bawah mereka.  Dalam postingan sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang  rumus matematika. Bagaimana bisa, sih, rumus matematika dijadikan solusi untuk gap distance?

Ini, adalah teori saya, hasil riset (halah) dari beberapa pasangan yang mengusik jam biologis saya untuk ngaso. Begini, diandaikan saja A adalah pria, dan B adalah wanita. Dengan jarak sekian tahun. Katakanlah perkembangan emosi disini sebagai C.

Dalam bahasa matematika sederhana, A memiliki kecepatan perkembangan emosi dan kedewasaan Ca, sedangkan B memiliki kecepatan emosi dan kedewasaan Cb.  Mereka sama-sama bergerak untuk mencapai tujuan yang sama, satu visi dan misi, anggap saja titik Z.

Pertanyaan : (bisa jadi) berapa lama waktu yang diperlukan A dan B untuk mencapai titik yang sama, yaitu titik Z?

Saya yakin, Anda yang jago matematika pasti mampu menjawab soal cerita tersebut saat ujian akhir :p

Nah, untuk mencapai titik Z, tidak bisa sekedar satu bulan, dua bulan, setahun… kecepatan perkembangan emosi dan kedewasaan seseorang sifatnya relatif, diperlukan cara, niat, dan waktu yang berbeda. Ya, waktu. Secara sederhana, ketika Anda berkata bahwa pasangan yang usianya jauh itu tidak cocok bagi Anda karena dia kekanak-kanakan, coba dilihat lagi. Pada usia berapa Anda memutuskan menjalin hubungan dengannya? Dan berapa usianya pada saat itu?

Memang benar, usia tak akan menjadi masalah. Banyak kok, yang sukses menjalin hubungan lintas generasi, dengan berbagai motif. Tapi ketika berada dalam satu garis rentang kehidupan yang sama-sama pada titik ‘labil’ (entah baru melepas masa transisi kuliah-bekerja, entah transisi SMA-kuliah), friksi yang ditimbulkan pun semakin hebat. Sekali lagi, itu hasil observasi dan riset kecil saya loh…

Coba begini. Saat ini bisa jadi kita merasa muak, kesal, sebal gara-gara si pacar benar-benar kekanak-kanakan sementara kita sibuk membanting tulang. Tapi apakah pacar kita selalu seperti itu? Bisa jadi lingkungan lah yang membentuknya menjadi lebih manja :p

Tentu hal yang berbeda, ketika ia sudah berbalut blazer Zara, tas Prada, stiletto sekian senti… beberapa tahun kemudian. Sementara Anda, yang katanya dewasa… tengah sibuk mengebor minyak di lepas pantai, kulit hitam legam, bertambah gemuk bak preman pasar. Hehe. Sekedar analogi saja. So, diperlukan kesabaran jika Anda memang ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang beberapa tahun di bawah Anda. Quick trip (but long wait): tunggu saja beberapa tahun lagi. Cheerios!


*posting ini, menyambung posting sebelumnya, saya dedikasikan untuk teman, sahabat saya , yang sedang galau dengan perbedaan usia… Enjoy, mate! :)




We’re perfect match, Hon, (but) just too ‘far’



“Maaf, telepon yang Anda tuju sedang berada diluar area. Cobalah beberapa—“

Klik.

Una nyaris membanting hp-nya sendiri ke lantai keramik yang keras, alih-alih ia melemparkan benda itu ke atas ranjang, dan mental beberapa kali. Berhenti beberapa senti, tepat di bibir ranjang.

Mukanya yang cukup kusut sejak pulang dari kampus beberapa saat lalu kian kusut, mendapati lagi-lagi teleponnya tak bisa menjangkau nomor yang dituju. Sudah yang kelima kalinya minggu ini, pikirnya getir.

“Na, ayo makan dulu.” Suara Ibu sayup-sayup dari meja makan.


*** 


“…tampaknya kita harus survey lokasi lusa. “

Kalimat terakhir Pak Beni diterima Rama dengan gamang. Lusa. Lusa seharusnya ia berada di rumah. Ia sudah berjanji pada Bana untuk menuntaskan permasalahan calon pembeli rumah di Kemang. Dan ia berniat mengantarkan Ibu ke rumah sakit, general check up. Dan lusa, lusa ia justru harus (lagi-lagi) mengasing di tengah laut.

“Pak? Pak Rama?”

Rama gelagapan, ia tak sadar sedari tadi Pak Beni memperhatikannya. Buru-buru ia minta maaf.

“Ada masalah?” tanya Pak Beni sambil menepuk pundak Rama. Rama langsung meraih folder meetingnya dan mengikuti tuntunan Pak Beni keluar ruangan. Rekan lain sudah berlalu, mungkin beberapa menit lalu ketika ia sibuk melamun.

Rama langsung pasang tampang tegas.

“Tidak Pak. Tidak ada masalah apa-apa. Hanya memikirkan survey lusa.”

Si bos tersenyum puas. Ia menepuk-nepuk bahu Rama layaknya seorang bapak yang penuh kebanggaan.

“Bagus. Saya tahu pilihan menempatkanmu sebagai pimpinan proyek ini akan sukses. Oke, saya duluan. Ada meeting lain. “

Dan secepat itu Pak Beni berlalu. Rama menelan ludah. Bagus, karirku akan menanjak dengan cepat, batinnya antara lelah dan puas karena dipuji langsung oleh Pak Beni.


*** 


 “Eh, gimana kabar cowok lo?! Kudu jadi ya, anak-anak udah pada siap-siap ni. Cuma tiga hari doang!”

Una menjauhkan hp dari telinganya, demi mendengar suara Vira yang nyaris melengking saking semangatnya, tak henti-hentinya nyerocos.

Ia mengeluh dalam-dalam, dalam hati, tentu. Sebelum akhirnya berhasil menjawab,

“Iya. Udah gue kabarin. Kayaknya si bisa. Iya, gue juga udah nggak sabar…” Una setengah berharap suaranya terdengar sama antusiasnya dengan celotehan Vira.

“Oke-oke. Kalo gitu gue telpon anak-anak, deh. Banyak yang kudu direncanain. Uhh, liburan!”

Klik. Tanpa memberi Una ancang-ancang bagi Una untuk kembali merespon.


*** 

 
“Tapi aku belum bisa pulang… Minggu depan aku masih di tengah laut, sayang… “

“Cuma tiga hari aja, masak nggak bisa, sih??!”

“ … “

“Ayolah… kapan sih kamu ada waktu buat aku? Aku kan juga pengen jalan-jalan, nonton, ditemenin pacar kemana-mana, nemenin aku belajar… “

“ … “ sebenarnya aku celana dalam atau pacar, sih?? Rama membatin sementara matanya menelusuri perhitungan di layar monitor.

“Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus datang. Kalo nggak mending kita putus aja!” Klik.

“Ahh…” hanya itu saja yang keluar dari bibir Rama. Desahan menjurus bosan. Mulai lagi deh… pikirnya


*** 


 “Kenapa sih, lo mau pacaran sama cowok yang tuju taon lebih tua?? Nggak ada asyik-asyiknya deh… “ (kompor mulai beraksi)

“Soalnya dia baik. Sabar. Pengertian. Dewasa. Kritikannya kan membangun. Gue jadi merasa aman aja. Orangtua gue juga percaya kalo gue jalan sama dia…” (alasan klise, namun fakta)

“Tapi toh, dia nggak selalu ada buat lo, kan?” (benar-benar kompor mledug ini bocah…)

“ ... “


***  

“Apa yang menarik dari anak kuliahan itu, Ram?”

“Hmm… harus dijawab?” (telunjuk mulai menelusur permukaan bibir cangkir yang berisi setengah kopi, seakan merasakan tekstur, namun sebenarnya hanya pengalih perhatian)

(mengangkat bahu)

Well, dia… manja. Lucu. Imut. Selalu bisa membuatku tertawa dengan segala kepolosannya, kejutan-kejutan kecilnya. Kecemburuan yang tidak pada tempatnya… Makes me feel so alive.” (tersenyum kecil, menggeleng-geleng kepala seakan baru menyadari kenapa ia menyayangi seseorang itu).

“Kalau hanya itu, apa bedanya dia sama boneka? Yang buat lucu-lucuan, rapuh sehingga perlu dipeluk, dan seiring waktu berjalan bisa remuk? Extra care, extra love?”

“ … “


***

 
“Jadi?”

“Jadi—kita putus… “

Rama tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Suka atau tidak suka. Ia sibuk atau tidak sibuk.


As I sit and watch the snow fallin' down
I don't miss you at all
I hear children playin', laughin' so loud
I don't think of your smile
So if you never come to me
You'll stay a distant memory


 Hubungan dengan jarak yang jauh, secara usia dan rentangan kilometer tidak mengenal hal klise seperti baik dan perhatian, tapi hanya perlu rumus matematika. Rama memutar arah, tidak meunju rumah Una seperti rencananya semula. Namun berbalik, menuju kantornya, tempat ia berbagi kisah dengan lembaran draft, kertas-kertas proyek, dan bercangkir-cangkir kopi dan sebungkus rokok. Dan, tentu saja big match. Sebelum tak ada sinyal, sebelum ia harus melewatkan beberapa minggu di tengah laut. Rama sadar, ikan di laut bahkan bisa lebih ramah dari ini semua, pikirnya getir.


*** 


Una hanya memandangi mukanya yang bengkak karena air mata, dengan tisu bertebaran di seputaran lantai. Melupakan besok ada ujian semester, melupakan ada janji hang out, melupakan perutnya yang berkeriut minta makan. Menangis, menangis, menangis…

Oo bintang-bintang di langit… kenapa aku yang paling malang di dunia ini???  




Selasa, 29 Maret 2011

         


       Umm. Gara-gara sibuk begadang berminggu-minggu berasyik masyuk dengan MS Word, saya pikir saya cukup mahir dalam mengetik. Tak-tik-tuk-tak-tik-tuk. Tapi ternyata... nggak juga *blushing*  

         Kok bisa?

        Gara-gara iseng, jadi blogwalking ke blog tetangga, dan menemukan link yang cukup oke... hehehe...

         Jadi link ini, Indonesian-speedtest, menyajikan suatu fitur dimana kita bisa mencova mengetik dengan berbagai bahasa. Setiap kata yang berhasil terketik, akan diberi poin. Demikian pula jika ada yang salah, akan terlihat... Ada 60 detik yang akan disajikan, nah, dari situ kita berusaha mengetik sebanyak-banyaknya. Dengan 10 jari, tentu :p 

         So, kita jadi bisa memprediksi kecepatan mengetik kita, langsung! Bagi yang berminat bisa coba klik di sini 

    
          Berdasarkan tes tersebut, hasil yang saya dapat adalah :


You reached 221 points, so you achieved position 9644 of 54241 on the ranking list


You type 270 characters per minute
You have 40 correct words and
you have 0 wrong words



Yah, bukan ukuran mutlak sih. tapi cukup seru. Hehehe. Happy typing :)





Fascinating Kotagede : Legi di Pasar Legi



Karena saya mulai nglangut (baca : mendekam garuk-garuk tanah) di kamar, jadilah saya memutuskan untuk keluar. Dan saya ingat, saya berniat membeli semester-dua meter kain blaco untuk persediaan ketika saya bosan. Hehehe. Jadilah sekitar pukul 10an saya menuju area Kotagede, yang memang dekat rumah, demi mencari selembar kain kewer-kewer itu.

Dan… yayyyy. Saya lupa—atau tepatnya samasekali tak sadar—bahwa hari ini, adalah hari Selasa Legi. Apa hubungannya Selasa Legi dengan ini semua? Hubungannya adalah, jejalanan menjelang Pasar Kotagede macet cet cet... Sepeda dimana-mana, motor dimana-mana. Orang lalu-lalang. Dalam bahasa sederhananya, semrawut


kemacetan Legi di Pasar Legi


Masih bingung? Saya juga *LoL* baru sejurus kemudian saya celingukan mengamati aktivitas heboh di sekitar pasar,dan tercetus pertanyaan,

“Rame banget. Ada apa sih?” (yeah, pertanyaan bodoh bagi penghuni Kotagede dan skitarnya...)

Awalnya saya kira ada semacam kecelakaan, secara di depan kantor pos besar utara Pasar Kotagede ada sejumlah tukang parkir yang mengerumuni tukang parkir lain yang tengah teronggok bersandar pada kotak pos, ditemani segelas teh disampingnya. Bukan-bukan… mereka tidak sedang main gaple :( Si pak tukang parkir yang bersandar itu rupanya tengah kelelahan, dan teman-temannya berkerumun membantunya.

            Dan saya baru ngeh bahwa sekarang hari Selasa dalam pasaran Legi. Salah satu hari pasaran selain Pon, Wage, Kliwon, Pahing menurut kalender Jawa. Legi—adalah nama tengah Pasar Kotagede : Pasar Legi Kotagede. 




Pada hari-hari ‘Legi’, pasar berubah menjadi tumpah ruah ramainya. Lebih hidup dari hari-hari sebelumnya. Yayaya… saya tahu hal itu. Namun penggunaan pasaran Legi? Jarang sekali. Saya hanya akrab dengan Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu.

Motor yang saya naiki hanya bisa merangkak sedikit demi sedikit. Duh, salah jalan (kebetulan toko kain yang menjual blaco letaknya barat pasar, jadi mau tak mau kami harus merengsek maju mengarungi orang-orang yang lalu lalang seenak udel). Rasanya? Maju kena mundur kena. Sundul depan belakang :( 

Kali ini, sejauh pengamatan saya, Pasar Kotagede tak ubahnya seperti Pasar Ngasem, penuh dengan burung, sangkar burung, dan orang-orang yang mengerumuni burung. Persis seperti gambaran pasar-pasar era Majapahit yang saya baca di buku sejarah. Tua muda besar kecil, mayoritas pria, sibuk ambil bagian dalam komunitas kaget ini. Sebenarnya saya berniat mengambil satu dua foto, namun karena kami saja terjepit, daripada saya nekad dan kamera saya terjambret, lebih baik menatap dengan mata lebar-lebar. Hmm… baru kali itu saya mengunjungi Pasar Kotagede kala pasaran Legi, padahal nyaris belasan tahun saya habiskan di daerah ini *blushing*

Fiuhh, akhirnya kami berhasil melewati pasar, sayang macet kembali menyapa. Olala… rupanya ada sebuah bis—BIS! Di jalan yang kecil itu!—semacam bis yang mengangkut rombongan perwira. Duh duh… 


jalanan Kotagede tuh minimalis... mana cukup buat tambahan satu ekor bis? Ckckckc. Padahal si andhong sudah mlipir-mlipir trotoar segala...


Sembari menyaksikan kemacetan, saya masuk ke toko kain yang tadi saya maksud. Ewww… tokonya, sebagaimana bangunan lain di seputaran kota perak itu, cukup gelap, tradisional, dan kurang terawat. Sementara Ibu saya melakukan transaksi, saya asyik melihat-lihat isi etalase kaca yang penuh dengan kancing dan peralatan menjahit lain. Hingga, ada sekitar 3-4 orang pengemis yang datang. Saya kira mbak penjaga toko hendak memberikan receh, tapi tidak. Pengemis itu mengambil receh yang memang sudah ditata rapi oleh penjaga toko di atas etalase sehingga memungkinkan para pengemis untuk mengambil sendiri. Hmm, pengemis itu mengambil sekitar… 200-300 rupiah dari atas kaca etalase. Kemudian… saya takjub. Baru lihat cara seperti itu. Efisien sekali :)


efisiensi penjaga toko : cukup letakkan koin-koin di atas meja. 
Efektif menghemat suara, dan melihat seberapa 'serakah' para pengemis...


            Setelah transaksi selesai, jalanan masih macet. sekilas saya lihat seorang pria berjalan membawa sangkar burung menjauhi area pasar. Well, sama seperti saya, rupanya ia habis bertransaksi... 


seorang pria di kejauhan, tampak menenteng sangkar, menolak kemacetan 


            Tak jauh dari pasar, seorang bapak tengah mengendarai motornya. Berbatik ria, membelah macet, dengan sangkar burung nangkring di jok belakang...





 sangkar yang kosong...


 Sepanjang perjalanan kembali (tak mungkin mengambil jalan pulang, karena bisa dipastikan sangat macet plus bis bodoh yang tak tahu medan itu), jadilah kami memutari Kotagede, lurus menuju pertigaan kecil Tegal Gendu yang tepat di sisi kiri jalan ada resto mahal Omah Dhuwur, berbelok ke kanan. Dan… siang yang panas sepoi-sepoi diakhiri dengan mampir ke penjual buah terdekat. Here I am, fascinating Kotagede :)


  tues-nice-day :)


Kamis, 24 Maret 2011






THIS EARTH HOUR, GO BEYOND THE HOUR

8.30 PM, SATURDAY 26 MARCH 2011







Sejam saja tanpa listrik, bahkan lebih. Toh, umat Hindu di Bali merayakan Nyepi selama seharian,  tanpa listrik beradu keheningan ... tidak membuat bumi kiamat


ECOBSESSION




Mulai dari baris ini saya sedikit mewanti-wanti karena posting kali ini mungkin sedikit panjang :)

Kadang-kadang saya punya obsesi yang benar-benar aneh. Green plan, eco-plan, better-plan-for-eco-living…  Itu adalah obsesi saya beberapa saaat terakhir. Yah, sekitar beberapa tahun terakhir. Saya, tertarik dengan apapun yang kira-kira bisa mengembalikan lingkungan pada kondisi sebelumnya. Oke-oke, baru pada tahap tertarik, belum beraksi secara nyata :( Dari membeli buku tipis berjudul Era Bisnis Ramah Lingkungan (John E. Kennedy). Memaksa orang rumah membawa tas pengganti plastik untuk dibawa ketika bepergian. Tergila-gila dengan program Big Ideas for Small Planet yang ditanyangkan sepersekian menit di MetroTV. Overexcited dengan EARTH HOUR...

Anw, saya jadi ingat percakapan saya (yang amat sangat nggak mutu) dengan pacar belum lama ini (efek melantur sana-sini setelah bosan jadi cyber-jobseeker),

Saya     :  Aku tau mau mahar apa! (langsung melompat dari topik lain seenak udel, dan sangat bodoh… mengingat saya baruuu saja lulus dan harusnya cari kerja dulu :p)
Dia       : Apaan?
Saya     : Sepuluh bibit pohon sama buku satu container!!
Dia       : …

Yang ada, dimana-mana orang minta mahar tu ya berlian kek, emas kek, duit kek. Duh…*mentoyor kepala sendiri*

Tapi seriusan deh, saya benar-benar punya obsesi tentang ‘hijau’ itu. Dan pasti pernyataan saya akan diikuti oleh pertanyaan,

“Apa kontribusimu buat bumi?
Dengan obsesi gilamu itu?”

Well *garuk-garuk kepala* saya baru bisa menerapkan menggunakan tas selain kresek dimanapun saya pergi. Jadi saya selalu bawa-bawa tas dari bahan blaco ataupun cadangan kresek saya yang menggunung di rumah. Baru itu? Iya, baru itu. Berat juga rupanya…

Sama beratnya ketika saya mati-matian ngotot mengadakan program sosial-humaniora terkait isu global warming pada saat KKN. Saya, notabene sendirian, berpartner dengan salah satu anak buah yang rada ambyar, kudu menghimpun program itu. Dari awal KKN mulai, saya sudah punya gambaran besar mengenai suatu outbond (yes, my speciality) yang HARUS bisa mengangkat isu lingkungan! Titik. Saya nggak peduli meski saya cuma berdua mulai dari bikin konsep acara, ijin sana-sini, kudu pinter-pinter merayu teman-teman lain klaster (yang juga penuh program), merelakan kocek lebih dalam... Saya sempat lega ketika ada perwakilan dari WALHI dan duh, saya lupa, yang berniat ikut ambil bagian dalam program besutan saya (meskipun pada saat itu baru menginjak IDE saja), mereka merencanakan akan ada mobil edukasi yang dapat membantu para anak-anak daerah tersebut belajar lebih lanjut tentang lingkungan. 

Jadi?

Tidak. Ada satu dan lain hal, sehingga mereka tak jadi datang. Dan berarti… saya BENAR-BENAR kudu berpikir lebih lanjut BERDUA saja mengenai outbond itu dengan partner saya yang sangat-sangat abstrak T_________T

Serba multitasking, saya meminta tolong beberapa teman mengontak pemuda desa, mempersiapkan ini itu, memastikan rute dan pos-pos yang bakal dilalui oleh para murid SD setempat yang menjadi sasaran saya, dalam beberapa hari saja, maklum bukan program inti. Dan, pada saat itu adalah pertama kalinya saya bergelantungan di atas truk batu dari desa bawah menuju desa atas bersama-sama remaja setempat yang membantu saya mencari rute outbond. Persis bakul sayur yang berangkat pagi-pagi buta di atas truk berjejal-jejalan...

Jujur, saya bukan orang yang ahli menjadi pemimpin langsung di lapangan. Tapi pada kenyataannya saya HARUS menghandle teman-teman yang membantu saya, plus pemuda desa yang ingin berpartisipasi. Horor juga, secara pemuda-pemuda yang terlibat adalah pemuda desa yang ‘gaul’. Untungnya, mereka mau bekerja sama dengan baik. Bahkan lebih dari sekedar membantu :)  

Dari kesemua pos yang ada, ada satu pos yang memang saya pegang. Pos LINGKUNGAN. Itu adalah pos kedua menjelang akhir, dimana saya akan memberikan presentasi pada anak-anak SD yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Suasana siang itu amat sangat panas sekali. Saya bisa memastikan bakal pingsan demi menempuh rute sebegitu jauh, plus, medan yang dibuat naik-turun-bukit-kecil-lompat-batu-sungai-awas-kecebur-lewat-kandang-sapi-manjat-gua-guaan-menebas-hutan-dan-belukar. Biasa bagi penduduk sekitar, 'agak' ribet bagi kami, anak kota. Dan tolong dicatat, JAUH di kota adalah tidak sama dengan JAUH di desa. 

Satu persatu kelompok-kelompok kecil bersenjatakan tas ransel berisi bekal, topi, dan alat tulis plus plastik berisi sampah (saya meminta tiap kelompok untuk mengumpulkan sampah sepanjang jalan—bukan-bukan, saya tidak mendidik mereka jadi tukang sampah, sungguh!—dan dimasukkan ke dalam plastik besar yang telah saya bagikan di awal).


kasian juga si adik bawa-bawa kresek sampah sementara teman-temannya 
melenggang kangkung :p


Dan beginilah kira-kira bentuk presentasi saya (beberapa bagian saya kutip dari CosmoGirl*)

 #1

#2
#3

#4

Dari kesemua lembar yang saya pampang di hadapan mereka, lembar #4 adalah bagian yang langsung menyita perhatian anak-anak SD itu, jadi... kira-kira begini penjelasan saya, 



1 jari -- dengan satu jari kita bisa berkontribusi menghemat listrik dengan cara me-nonaktifkan benda-benda elektronik yang tidak sedang dipakai, seperti TV, radio, charger HP, dll. Bayangkan berapa watt listrik yang berhasil kita hemat!



1 tangan -- dengan satu tangan kita dapat berkontribusi pada bumi dengan menggunakan lampu hemat energi, membuang sampah pada tempatnya, serta menanam tanaman. Hal kecil, namun secara tidak langsung membuat bumi tetap lestari.



             2 kaki -- kita bisa dong, berjalan kaki untuk jarak yang dekat-dekat ataupun naik sepeda saja, jika jarak yang ditempuh memang terjangkau...



            
           2 mata -- gunakan mata seefektif mungkin, untuk membaca, melihat, mengamati hal-hal terkait pelestarian lingkungan dan berbagai informasi yang menambah wawasan lingkungan. Nggak ada ruginya kok, sambil nunggu loading twitter atau facebook, sambil membuka situs-situs keren tentang isu lingkungan! 



          1 mulut –- mulai membiasakan diri untuk sedekat mungkin dengan bahan makanan organik. Sekarang sih masih mahal karena masih jarang orang yang peduli pada perawatan tanaman secara organic, sehingga otomatis income petani atau pihak-pihak yang terlibat menjadi tak seberapa bila disbanding biaya perawatannya. Tapi lambat laun pasti banyak orang yang lebih peduli kok! Plus, sering-sering bercerita pada orang lain yang belum paham keuntungan bahan makanan organik.




           1 hati –- last but not least, dengan HATI yang kita miliki, cobalah menerapkan langkah kecil, sedikit demi-sedikit, untuk membutikan bahwa kita menyayangi bumi kita, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Cherrios!

Dan, reaksi mereka?
“Pemanasan global ki opo to, Mbak?”
“Pemanasan global itu buminya panas!”
“Ya panas gitu…”
Bla bla bla…

Saya sih tidak berharap menjadi malaikat yang membuat mereka… CLING, langsung sadar dan menjadi pahlawan lingkungan… tidak. Karena tidak bisa seperti itu dong. Maka yang bisa saya lakukan, pada hari itu, saya memanfaatkan jatah ceramah saya  untuk mendoktrin mereka dengan pentingnya pemisahan sampah (agar tidak menimbulkan racun, dan bisa didaur ulang berdasar jenisnya), pelarangan pembakaran sampah (akan lebih bagus bila ada tempat penampungan khusus, yang saya tahu itu sangat mustahil bagi warga desa), penggunaan tas selain plastik ketika berbelanja di pasar, dan membuang sampah pada tempatnya (tidak membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik, di sendang—oiya, sendang menjadi tempat favorit para tua-muda-laki-perempuan untuk mandi, fyi, sendang sekedar bilik-bilik tembok tidak berpintu >__<), diiringi mantra sakti,

“Dik, tolong Ibu/Bapak dikasi tau yaa..” plus senyum secerah Peps*dent

Berhasil??

*tersenyum kecut* sayangnya belum…  karena esoknya saya masih menemukan warga membakar sampah di sudut desa, ibu-ibu yang membuang bungkus deterjen di tanah sekitar sendang begitu saja, dan sebagainya-dan sebagainya. Kelak, saya ingin bisa kembali lagi kesana dengan misi yang sama, ECOBSESSION. Amin.


* CosmoGirl Indonesia (April, 2008)