Selasa, 30 November 2010

Saya dan Swallow Tua




Sejak kecil saya sangat menyukai sandal. Karena sangat nyaman dan sangat ‘saya’. Yayaya… sandal merk Swallow dengan warna-warna eksis seperti merah, hijau tua, oranye, kuning, ungu, dan entah apa lagi adalah salah satu favorit saya. Sandal Swallow adalah sandal paling nyaman yang pernah saya miliki, melebihi karya Yongki Komalandi bahkan (sekali lagi, dalam imajinasi saya, karena toh jika saya niat membeli sandal made in Yongki, bisa dipastikan sandal itu hanya akan bertengger manis di rak saya daripada menemani saya kemanapun).

Kenapa sandal Swallow? Jelas, karena pada saat itu pilihan sangat terbatas bagi kami, anak kecil. Setelah melewati fase alas sepatu cit cit (sepatu bayi yang berbunyi ketika kita melangkah dan mulai menjejakkan kaki) maka pilihan yang saya dapatkan adalah sandal Swallow warna merah atau hijau atau kuning. Hmmm, ada sihh, pilihan lain. Saya pernah dibelikan Ibu sepasang sepatu sandal cantik dari bahan jelly nan empuk dan bening. Waktu itu namanya sepatu kaca kalau tak salah. Dengan sukacita saya mengenakannya kemana-mana. Tapi rupanya sepatu seperti itu memang tak berjodoh dengan saya. Tumit saya perih dan memerah menggunakan sepatu sandal seperti itu. Entah kenapa. Pada waktu itu, saya lebih suka sandal Swallow. Titik.

Semakin saya dewasa, saya sadar bahwa sandal Swallow saya kian pudar gaungnya. Sandal yang diproduksi PT. Garuda Mas Perkasa (saya juga baru tahu produsennya setelah googling) ini kalah dari sandal distro dan serta sandal cantik ala butik. Jujur saja, saya memang memiliki deretan sandal lain. Dari sandal untuk njagong manten, sandal untuk JJS (Jalan-Jalan Santai), sandal untuk ke tempat yang dekat-dekat, dan sandal untuk ke tempat yang jauh-jauh, sandal pas hujan…

Hari ini saya bersemangat ’45 hendak ke rumah Nenek. Rumah Nenek bukan di desa. Tapi saya tetap akan memakai Swallow saya. Baruuu saja kami hendak berangkat… tereteretettttt,

“Itu… sandalmu sudah buluk seperti itu?? Ganti! “ Ibu menuding sandal yang saya kenakan.

Yep. Swallow.

“Tapi kan cuma ke rumah Nenek, Bu…” sahutku pelan.

Satu gelengan lagi.

Dengan patuh saya berbalik dan mengganti Swallow saya dengan non-Swallow. Kesimpulan saya saat itu : Swallow saya sudah kadaluarsa!



Semakin saya dewasa, saya juga sadar bahwa diri saya tak ubahnya seperti sandal Swallow. Sederhananya, Swallow—adalah bagian dari zona nyaman saya. Swallow adalah bagaimana saya menyayangi dan menghargai diri saya untuk tetap menjadi ‘saya’. Namun  ada kalanya kita juga harus melangkah meninggalkan ‘Swallow-Swallow’ dalam bentuk lain.

Beberapa bulan ini saya menjadi sok sibuk. Sibuk dengan beberapa bab yang agak menentukan masa depan saya. Entah sudah berapa kali saya ngendon di perpus bersama rekan-rekan satu angkatan. Minggu-minggu awal perpus lebih mirip Sekaten dalam versi elegan : adem dan nyaman dengan sofa empuk. Semua orang tampak berada dalam ritme yang sama, euphoria yang sama. Kami tak ubanhya seperti sebuah organisasi : dengan visi misi serupa menuju satu tujuan yang sama.

Hingga minggu-minggu menjelma menjadi bulan pertama, lalu bulan kedua. Satu-persatu dari kami mreteli, hilang satu demi satu. Satu persatu memiliki target yang berbeda, namun tujuan yang sama. Sekali dua kali saya mendapati diri saya bersama satu-dua rekan menekuni hal yang sama. Saat itu saya tersenyum simpul. Ternyata meskipun kami mungkin tak saling mengenal dengan baik, dengan dilekatkan oleh istilah ‘almamater’ semua menjadi berbeda. Saya sedikit kehilangan. Kehilangan momen-momen kuliah, jam-jam kuliah pagi, tumpukan tugas, dosen-dosen yang bersemangat menimpuki kami dengan tugas, makan siang di sela-sela kuliah. Semuanya.

Yang sangat saya sadari dari sekelumit kalimat yang mencuat ketika tepat pukul 08.00 saya duduk sendiri di suatu sudut perpus dengan semua amunisi masa depan saya :

Sebenarnya kita semua bergerak dengan ritme yang sama, kecepatan yang sama. Kita hanya terpisah, oleh bidang A, bidang B, dosen A, dosen B.

Dan mungkin dengan ritme dan kecepatan yang sama itu kita bisa kembali bertemu di satu titik yang sama (lagi) kelak, dengan toga sewaan dan keluarga yang tersenyum di sekitar kita sebelum kita benar-benar terlepas dari jerat institusi pendidikan selama hampir 18 tahun dari keseluruhan hidup. Dan…  kemudian kita akan benar-benar menjalani hidup masing-masing.

Namanya Radithya









Namanya Radith.

Bukan, dia bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dia adalah sepenggal nama yang terus mengusikku sejak aku masih kecil. Mungkin kalian merasa aneh dengan arah pembicaraanku barusan. Well, I wanna tell ya something about that. Sejak aku menginjak bangku SD, entah kenapa aku sangat menyukai nama itu. Radith. Nama itu seakan memiliki, yah, suatu aura tersendiri.  Bisa dipastikan tiap kali ada pelajaran mengarang maka nama itu tidak pernah absen menjadi subjek utama. Teman-temanku sudah sangat bosan mendengar nama itu berulang-ulang namun aku tak pernah merasakan hal yang sama. Aku mencintai nama Radith, sekedar nama, tanpa ada makhluk utuhnya. Aku tak pernah menjumpai seseorang dalam hidupku yang bernama Radith, paling banter aku hanya menemukan nama Adit, selalu tanpa huruf R di depannya.


Plak.

Sebuah tepukan di bahu mengagetkanku.

“ Udah bikin tugas bahasa inggris, Re? “ teguran Lita semakin menambah keruh hari yang sudah sangat gerah ini. Siapapun tahu, Reyasita Mayangsari alias Reya alias aku, paling tidak berjodoh dengan logat bule manapun. Lidahku sangat kental Jawanya, membuatku malu ketika harus maju ke depan kelas untuk mempresentasikan story telling dan sebangsanya.

Aku menggeleng masam. Minggu lalu aku tidak masuk kelas karena terkapar gara-gara kebanyakan makan durian. Aku mabok duren.

“ Belum. Bukannya Pak Bayu nggak masuk? Tugas apa lagi dong? “ keluhku setengah mengutuk kenapa guru-guru tetap hobi membebani kami para remaja ini dengan setumpuk tugas di saat seharusnya kami menikmati masa perkembangan sebagai seorang remaja yang (sok) gaul. Hehehe…

Tanpa minta ijin lebih dulu, Lita main sosor es buah yang baru separo jalan kumakan dan sukses membabat bagian terfavoritku : potongan alpukat. Sambil sibuk mengunyah, Lita mencoba menjawab dengan mulut penuh potongan alpukat. So yucks.

“ Justru itu, ada guru pengganti Pak Bayu selama 3 minggu ini gara-gara Pak Bayu sibuk cuti hamil, maksudku istrinya yang cuti hamil. “

Hh, dengan Pak Bayu yang gokil banget aja aku masih tidak tertarik untuk melemaskan lidahku belajar bahasa inggris, apalagi dengan guru baru ini. Tampaknya penderitaanku akan dimulai minggu ini.



“ Morning, class. “

“ Morning, Sir. “

“ Well, class… Please submit your homework last week and then… Could you do some favor to me? Please open page 17, read and understand this passage below. I’ll give you 10 minutes, then I’ll point out one of you to read it in front of us. “

Damn. Bener kan… guru baru yang muda dan tampan dan tampaknya sangat siap menjadi idola baru di sekolah kami, well, atau setidaknya kelas kami ini memang mulai berulah, sesuai dugaanku. Aku sangat benci membaca apapun dalam bahasa selain bahasa ibu. Jadi sementara Lita tampak kusyuk dengan bacaannya, aku lebih tertarik mengamati daun yang terkena angin dan mengira-ngira apakah daun yang malang terterpa angin itu dapat kugubah menjadi puisi. Hmm, aku suka membuat puisi, meskipun Lita sangat suka mengolok-ngolok minatku itu. Sangat era jadul katanya. Hahaha, persetan dengan olokannya. Minat ya minat, tak peduli apakah minatku ini terkesan jadul ataupun hi-tech. Sayangnya aku hanya mampu menyimpan minatku ini dalam sebuah buku mungil pemberian Ayah. Aku tak merasa yakin untuk mempublikasikannya kepada orang lain selain Lita.


Aku menikmati semilir angin (baca : fasilitas VIP tempat duduk dekat jendela) yang sangat sulit dirasakan akhir-akhir ini akibat global warming, dimana angin bercampur polusi dan limbah pabrik akan berubah menjadi angin panas yang menusuk kulit. Mendadak angin sejuk yang kurasakan menjadi sentakan keras di siku kananku dan membuatku nyaris menjatuhkan kamus setebal lima sentimeter dari atas meja, berbarengan dengan suara teguran,

“ Yes! You, miss! Could you read this passage now?! “

Guru muda itu, langsung menunjuk aku dengan telak setelah Lita sukses menyenggol sikuku.

“ Re, kamu disuruh maju baca ini! Cepet sana, dari tadi kamu dipanggil-panggil malah ngelamun aja! “ setengah mendorong setengah memaksa Lita menjejalkan buku yang sedari tadi ia baca. Mampus. Mampussssss. Masih terbayang minggu lalu, belum selesai aku membaca satu paragraf seisi kelas sudah tertawa gara-gara lidahku selalu menekankan logat Jawa kentalku saat membaca kata-kata dalam bahasa inggris. Uh-oh. Sekarang akan terulang lagi, dan aku akan kembali menjadi badut di kelas sendiri. Siaaaaallll.

“ And—Miss—“

“ Reya. “ aku memotong dengan cepat ucapan si guru tampan itu. Hmm, guru muda ini memang tampan. Dengan kulit cokelat sawo matang, alis tebal, badan tinggi, kecuali ditambah kenyataan bahwa dia adalah guru mata pelajaran bahasa inggris—pelajaran mengkriting lidah bagi para pemuja bahasa lokal—sebenarnya aku akan sangat tertarik dengan guru yang satu ini.

Guru itu mengangguk dan kini seisi kelas akan bersiap-siap menertawakanku. Aku berdehem pelan dan menghela napas.

“ Look at ndè stars—“

Buahahahahahahaha!

Seisi kelas langsung tertawa mendengar kata ndè atau maksudku adalah the. HH, mungkin aku memang ditakdirkan tidak bisa melakukan percakapan bahasa inggris tanpa membuat orang lain tertawa. Bahkan bisa kulihat si guru muda itu bahkan senyum-senyum…



“ SUMPAH. Aku samasekali nggak ngerti soal fisika ini… “, Lita memijit-mijit keningnya sendiri. Disekitar kakinya bertebaran buku-buku fisika. Minggu-minggu menjelang ujian akhir dan lidahku tetap saja belum ada kemajuan berarti dalam hal pengucapan kata dalam bahasa inggris.

“ SUMPAH. Aku nggak bisa bilang te-ha-e dengan normal! “ dengan kesal aku ikut-ikutan merebahkan diri di sebelah Lita, ikut-ikutan pusing.

Lita terkikik geli, mendadak ia berbalik badan dan menatap ke arahku.

“ Untung mas guru muda itu cakep yaaa… “ bisiknya centil.

Aku menutup mata dengan kesal sambil bertanya,

“ Mas Guru Muda, Mas Guru Muda… Kayak Mas Guru Muda nggak punya nama aja. Siapa si namanya? Capek aku dengerin kamu bilang Mas Guru Muda Mas Guru Muda melulu… “

“ Namanya Mas Radith. Radithya. Dia nggak mau d—“

Selanjutnya aku hanya mendengar angin saja. 



Apalah arti sebuah nama.

Shakespeare sangat terkenal dengan quote itu. Namun aku bukanlah bagian massa yang mempopulerkan quote tersebut. Bagiku, nama adalah lebih dari sekedar nama. Nama adalah sebuah doa yang akan meresap dalam alam bawah sadar. Seperti Radithya. Radithya dalam bahasa Sansekerta berarti matahari. Dan matahari ini adalah Mas Radith, si guru tampan yang menyadarkanku bahwa bahasa bisa dipahami lewat apapun termasuk tulisan. Ia tak mencelaku atau memperolokku sebagaimana yang dilakukan Lita. Seperti ketika dia menyapaku di senja itu.



Dengan bosan aku menunggui Lita yang masih bersemangat berlari mengitari lapangan. Pekan olahraga antar SMA berlangsung seminggu lagi, dan Lita baru menyelesaikan tiga putaran dari total 10 putaran yang ditargetkan pelatihnya sore itu. Berbeda 180 derajat denganku, Lita adalah pribadi yang sangat dinamis. Hidup baginya adalah sebuah roda kereta api—cepat, teratur, dan pasti, sedangkan bagiku hidup tak ubahnya roda andong—tergantung bagaimana sang kuda membawanya berdasarkan cambuk kusir. Tanganku sedari tadi menggenggam buku mungil bersampul daun pisang kering, lengkap dengan pena. Niat hati mencari inspirasi, namun ulah Lita terpeleset kulit pisang tampak lebih menarik. Aku sibuk menertawai sahabatku yang sempurna dengan caranya itu ketika ada sesosok pria duduk di sampingku. Mas Radith. Hmmm… aku bisa merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat, seakan-akan aku yang berlari melintasi lapangan, bukan Lita.

“ Kadang-kadang memang lebih mudah menuangkan pikiran dalam tulisan, ya? “ Mas Radith tertawa dan aku baru sadar ulahnya itu meninggalkan gurat di kedua pipinya.

“ Apalagi dengan bahasa kita.” Sambungku lagi. Aku sengaja menekankan kata kita.

“ Aku punya cerita Re—, “ dia diam, mengamati reaksiku yang rupanya lebih mengagumi tampangnya dari dekat seperti ini. Karena tidak ada reaksi, Mas Radith melanjutkan ceritanya, “ —ada seorang anak yang sangat suka menulis. Sejak kecil anak itu suka sekali menulis. Apapun yang menarik baginya, akan ditulisnya menjadi sebuah kisah ‘bernyawa’. Tak peduli seberapa anehnya tulisannya. Anak itu bercita-cita menjadi penulis terkenal. Namun semua itu harus dipendamnya dalam-dalam—“

“ Kenapa? “ potongku tak tahan.

Mas Radith tertawa lagi. Dan gurat di pipinya kembali muncul, “ —karena orangtuanya ingin anak itu menjadi orang yang sukses, dan bagi si orangtua ‘menulis’ bukanlah jalan untuk menjadi sukses, setidaknya sukses menurut orangtua si anak. Orangtua anak itu sibuk memberi bermacam-macam les agar si anak lupa dengan minatnya yang kurang menjanjikan itu. Tapi ternyata minat tidak bisa hilang. Diam-diam si anak tetap melanjutkan hobinya. Awalnya ayahnya tidak tahu samapi ia menemukan lembaran kertas berisi tulisan yang tergeletak di meja belajar si anak. Sang ayah marah besar, ia memaki-maki anak itu hingga anak tersebut tidak tahan dan pergi dari rumah. Sayangnya begitu ia pergi dengan kekecewaan dan sakit hati luarbiasa terhadap ayahnya, ia tak melihat jalan dan sebuah mobil dengan kecepatan penuh menabraknya dan menghilangkan tangan kanannya—sangat sinetron memang, dan bodohnya kisah bak sinetron itu benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Ia memang tak lagi bisa menulis dengan lancar, tapi ia tetap memiliki semangat itu dalam dirinya.

“ Reya, kesempatan itu sebenernya nggak ada, kesempatan itu cuma kamuflase orang-orang yang nggak mau berusaha. So, just create your own opportunity. “

Aku lebih penasaran dengan hal lain.

“Dimana—“

“ Di depanmu. “, Mas Radith mengulurkan tangan kanannya yang ternyata—tangan palsu, tertutup dengan sempurna oleh kemeja Hugo Boss hitam bergaris.



Aku capek, tapi masih sangat bersemangat menandatangani halaman pertama dari buku yang disodorkan salah satu pengunjung launching bukuku. Saking tekunnya, ketika aku mendongak yang terlihat di hadapanku hanyalah warna putih tepat lima sentimeter di depan mataku.

Mawar putih.

“ Congratulations, Miss Reya. “

Suara yang sama. Logat bule yang sama. Di satu sisi aku sangat membenci logat tersebut hingga ingin melempari pemilik suara itu dengan manolo hitamku, namun di sisi lain aku—tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaanku—bahagia.

Tawa dengan gurat di pipi yang sama.

“ Miss Reya, would you like to help me? “ goda pemilik suara itu.

Aku tertawa dan tanpa banyak basa-basi bangkit dari tempat dudukku, meninggalkan antrian pengunjung. Berdehem sekilas dan menyeringai lebar,

“ Of course. “


Namanya Radithya. Artinya matahari.



Selasa, 23 November 2010

A Walk to Remind Her (and her obsession)

 
apakah kau berani tinggal di luar?
ataukah kau berani masuk ke dalam?
dan jika kau masuk, akankah kau belok ke kiri? ataukah ke kanan?
atau kanan dan tiga perempat, atau tidak sama sekali?
kau bisa sangat bingung & mulai berlomba menyusuri jalan dengan jantung memberontak keluar dr dada, dan berjalan melewati jarak menyeberangi ruang.
menghadapi ketakutanku akan tempat yang paling tak berguna.
ruang tunggu untuk orang menunggu.
menunggu kereta pergi dan bis datang.
atau pesawat pergi.
atau surat datang.
atau hujan berhenti.
atau telepon berdering.
atau jam berdentang.
atau menunggu sebuah iya atau sebuah tidak.
atau menunggu sebuah kesempatan lain.
ada hal yang sangat ingin kamu dengar,tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang dari mereka ingin kamu dengar.
tetapi jangan sampai kamu menjadi tuli walaupun kamu tidak mendengar itu dari seseorang yang mengatakan itu dari dalam hatinya.
jangan pernah berkata selamat tinggal jika kamu masih ingin mencoba.
jangan menyerah jika kamu masih merasa ingin berjuang.
jangan pernah kamu berkata kamu tidak mencintai orang itu lagi bila kamu tidak bisa membiarkannya pergi.
cinta datang kepada mereka yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan.
kepada mereka yang masih percaya walaupun mereka telah dikhianati.
kepada mereka yang masih ingin mencintai walaupun telah disakiti sebelumnya.
dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan yang telah hancur.

orang yang bahagia tidak perlu memiliki yang terbaik dari segala hal.
kebahagiaan adalah bohong bagi mereka yang menangis,
mereka yang terluka,
mereka yang mencari,
mereka yang mencoba.
mereka hanya bisa menghargai orang orang yang penting yang telah menyentuh hidup mereka

Penggalan ini saya dapatkan dari friendster seorang teman. Senyum simpul adalah reaksi pertama saya terhadapnya. Hmm… semua kepingan kita memiliki banyak pilihan dan keharusan untuk memilih sederet kemungkinan jawaban. Dan memang tak bisa terhindarkan. Sebenarnya, pilihan seperti apa yang diharapkan? Apakah yang tepat pada waktunya? Ataukah mendekati kemungkinan lain?


Seorang teman menginspirasi kemungkinan pilihan itu. Tak peduli terlambat atau tidak.



Namanya Lala. Dia adalah manusia dengan sejuta harapan, tak peduli semustahil apapun kemungkinan dibalik pilihannya. Toh dia tetap maju. Sama seperti saya, Lala memiliki obsesi menjadi seorang backpacker. Obsesi itu tumbuh dan berkembang sejak jaman putih abu-abu, lebih dari keinginannya untuk punya pacar, lulus dengan predikat cumlaude, menjadi CEO top perusahaan multinasional, dan lain-lain. Bagi sebagian besar yang hobinya travelling around the world, itu bukanlah obsesi yang pantas dibanggakan. Saya bahkan tidak berpikir bahwa itu adalah ide brilian untuk sekedar dijadikan sebagai mimpi. Tapi obsesi itu meracuni Lala sebagai sebuah pilihan yang harus ditetapkan. Dan itu berarti sama sulitnya seperti saya yang memutuskan untuk berganti dosen atau tidak demi kelangsungan masa depan saya (curcol mode : on).

Sebagai anak tunggal dan berasal dari keluarga sederhana, ada banyak tembok yang membentangi mimpi itu. Entah sudah berapa banyak cekcok kecil dengan keluarga dan sedikit sindiran teman-teman sepergaulan yang menganggap bahwa ide itu konyol untuk ia lakukan. Ada begitu banyak keterbatasan yang mungkin jika ia patuhi akan membuat mimpi itu tinggal mimpi. Tapi toh ia berusaha. Ia mencari info, mengumpulkan brosur, browsing sana-sini, mengikuti tes dan sederet kompetisi. Ia tak perlu pengakuan, tak perlu uang (yah, kalau ini mungkin sedikiiittt perlu J), tak perlu piala… yang ia perlukan hanya kesempatan mengambil pilihan atas obsesi itu. Saya yakin dalam laptopnya tersembunyi berbagai tempat yang ingin dia kunjungi. Mungkin bagi beberapa orang tampak berlebihan, sayapun pernah beranggapan demikian. Namun ia konsisten. Bertahun-tahun saya bergaul dengannya, dan saya menemukan bahwa ia sesungguhnya tak patah arang.

Beberapa bulan terakhir kami memang jarang bertemu, namun terkadang ada kalanya saling bertukar SMS. Dan pada suatu sesi SMS saya iseng bertanya,
“Gimana kabar obsesimu?”
Dia tertawa dan menjawab dengan mantab.
“Belum, nih. Doakan ya.”

Hmm… saya tercenung. Dalam beberapa interaksi kami, saya menemui fase hopless-leleh-luweh nya ketika apa yang menjadi keinginannya ternyata gagal. Tapi tidak untuk obsesi yang satu itu. Saya masih sering mendengar ceritanya, mendengar perkembangan terbaru yang ditemuinya, dan segala macam hal yang menunjang. Meskipun saya tak cukup tahu bagaimana dia akan mengakomodasi semua harapan itu, namun saya cukup yakin bahwa semangat itu tak pernah mati.

Siang itu saya ada janji bertemu dengannya. Saat itu pikiran saya sedang carut marut menatap draft laporan yang porak poranda. Berlagak sok rajin, sembari menunggunya saya membolak-balik salah satu buku yang kemudian menjadi favorit saya : Marmut Merah Jambu by Raditya Dika. Cukup lama saya menunggu, hingga sebuah SMS masuk ke hp saya.
“Eh maaf, aku nggak bisa kesana nih… maaf mendadak.”
Rupanya teman saya itu.
“Nggak pa-pa. Emang kenapa?” saya balik bertanya.
Guess what?? Aku dipanggil interview buat summer course! Haaaa!!!!!! …”

Masih banyak yang dia katakan. Masih banyak aura positif yang terlontar dari intonasi dan diksi nya. Namun saya hanya menangkap satu kalimat yang tercetus mendadak di kepala saya :

Dia mendapat jackpot itu. One step closer for the next step.

Kita tak pernah tahu bagaimana obsesi dan mimpi demikian tipis dan bisa bersinggungan dengan mulus. Entah jalan yang ditempuh akan lurus, menanjak, berkelok, menurun, berputar, ataupun tampak tanpa arah. Seperti satu paragraph yang hendak saya kutip lagi.

Pada akhirnya orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima. Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.

Teman saya rupanya tak mau jatuh cinta sendirian. Oleh karena itu ia memutuskan memberi tahu apa yang dicintainya itu. So, apakah kau berani tinggal di luar? Atau masuk ke dalam?

Kamis, 18 November 2010

Gen '80

Beberapa status teman di situs jejaring sosial rupanya menggiring saya pada kesadaran lama. Betapa berbedanya generasi kita saat muda, polos, dan tak berbahaya dulu dengan anak-anak jaman sekarang. Hmm, bukan berarti saya mendiskreditkan generasi sekarang, sungguh. Namun isi dari tulisan ini hanya menjadi kepingan nostalgia kami, anak-anak gen ’80.







Ngomong-ngomong soal pedagang mainan keliling, saya jadi ingat Pak Kampret. Well, saya bahkan tak tahu ama asli beliau. Yang saya tahu, Pak Kampret adalah sesosok pria paruh baya dengan topi koboi rada lusuh, kumis melintang, kaos panjang, celana panjang, sepatu olahraga, cincin batu akik (yang pasti sangat sakit kalau kita sampai tertonjok olehnya), serta ber-tas pinggang, yang selalu mangkal di depan SD saya, SD Serayu Yogyakarta (Jalan Juadi No.2, waaaa… saya masih ingat alamat sekolah saya) sejak jam istirahat. Ia adalah penjual mainan favorit saya dengan seruan-seruan ala penjual obat keliling nya “Sayang anak, sayang anak” — yang khusus ditujukan untuk para orangtua yang menjemput anaknya.


Bagi kami, pada saat itu sepeda Pak Kampret yang penuh dengan rimbunan mainan kecil-kecil berplastik (dan akan sangat ‘ecek-ecek’ bila dibandingkan dengan Lego, Playstation, bahkan Blackberry—dunia memang sudah gila… anak SD sekarang mainanannya BB, cuiiii…) adalah sumber harta karun masa kecil kami. Saya benar-benar ingat bagaimana Pak Kampret selalu berhasil menyediakan mainan yang up to date namun pas di kantong saya dan teman-teman : kantong anak SD jaman dulu. Kehadirannya cukup mencolok diantara belasan penjual rupa-rupa lain : tukang bakso ojeg, bakwan kawi, es kelamud, es goring, telor puyuh dadar, berger donal, coca-cola, dan lain-lain. Berkat Pak Kampret, saya pun bisa mencicipi Tamagochi KW, yoyo futuristik, jagoan neon, tato temporer, dan ia juga sukses mencekoki kami dengan kandungan MSG dari berbungkus-bungkus Chiki, Cheetato, dan entah apa lagi demi popularitas pemilik Tazos terlengkap dan terbanyak. Pak Kampret = racun? Iya, dan tidak. Toh sekarang saya merasa jauh lebih obese dengan tumpukan lemak Mister Burger. Pak Kampret tak ubahnya seperti Pak Raden yang mampu menghadirkan keceriaan masa kecil kami (ohya, dia bukan pedofil, kali-kali ada yang rese tanya) rupanya.


Anak SD dan mainan, di era itu adalah surga dunia. Saya pribadi menghormati Pak Kampret bukan semata karena ia adalah supplier tunggal yang memonopoli jatah mainan kami, namun karena dedikasi beliau yang tinggi untuk lebih dari sekedar penjual mainan. Saya tak pernah lupa bagaimana beliau dengan sabar membantu menyeberangkan kami ke seberang jalan, tempat orangtua kami menjemput. Kebetulan SD kami berada tepat di pinggir jalan yang cukup ruwet lalu lintasnya ketika jam pulang sekolah. Maklum, selain SD kami juga ada SMP 5 dan SMA Bosa disana. Yah, dengan sabar, karena kami tak ubahnya seperti deretan kelinci yang lompat sana-lompat sini buru-buru ingin menyeberang tanpa melihat kanan-kiri. Dengan sabar, karena ia kebapakan, berbeda dengan satpam sekolah kami yang rese dan berisik, plus muka jutek karena harus menyeberangkan anak-anak bengal seperti kami di bawah teriknya matahari. Pak Kampret adalah orang nyaris terakhir yang meninggalkan sekolah diantara penjual mangkal lainnya, bahkan terkadang lebih akhir daripada guru-guru kami. Kenapa? Karena beliau selalu menunggui beberapa anak yang masih kecer di sekolah meskipun jam pulang sudah berlalu beberapa jam. Saya adalah salah satu anak yang lumayan sering ditunggui hingga pulang oleh beliau. Yah, orangtua saya cukup sering memberlakukan jam karet yang bikin bête, jadilah saya sering jadi siswa penghuni terakhir yang dijemput. Pak Kampret sampai hapal saya dan Ayah saya, serta daerah tinggal saya. Sehingga ketika saya dijemput, biasanya Pak Kampret akan berteriak dari sela-sela pagar SD kami, “Kotagede, Kotagede, dijemput Ayah tercinta! “ dan saya akan nongol buru-buru.  Hingga adik saya bersekolah di SD Serayu pun, selisih kami 5 tahun, seruan itu masih terdengar. Kami dan Kotagede. Dan adik saya juga termasuk salah satu fans Pak Kampret.


Sempat beberapa kali saya bertanya pada orangtua saya, “Kenapa sih, yang jadi satpam bukan Pak Kampret saja? Dia kan baik.”
Kedua orangtua saya juga sangat setuju dengan pemikiran sederhana saya, namun mereka hanya menggeleng tanpa bisa berbuat apapun.


12 tahun kemudian, saya yang sudah menyendang predikat sebagai mahasiswa suatu PTN di Jogja, berkesempatan mampir ke SD Serayu untuk mengurus perijinan penelitian dari kampus. Saya agak terburu-buru pada waktu itu. Dan saat melewati deretan penjual yang mangkal saat itu,
“Eh, Kotagede. Cah ayu. Sudah besar sekarang…”
Saya menoleh dan mendapati penjual mainan favorit saya. Beliau masih bergaya unik dan mungkin nyeleneh untuk ukuran jaman sekarang. Dan masih mengingat saya. Saya sempat mengobrol barang lima menit berbasa-basi dengan beliau. Dan beliau masih sama, hanya keadaan fisik yang membedakannya. Pak Kampret semakin menua, memiliki kerutan, dan ompong. Namun keramahan serta ketulusannya tetap tak lekang. Pada saat itu timbul sebersit keinginan iseng saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Kampret kelak.


Beberapa bulan kemudian, beberapa kali saya melewati SD Serayu, namun Pak Kampret sudah jarang tampak. Bahkan tak nampak. Tapi kini saya tahu, tak perlu birokrasi penting yang menyebutkan bahwa Pak Kampret adalah satpam SD kami. Tak perlu lagi pelantikan pak Kampret sebagai satpam yang menyeberangkan kami satu per satu dan mungkin hanya ada dalam imajinasi saya. Karena sampai kapanpun Pak Kampret adalah sosok yang akan saya hormati atas dedikasi dan semangatnya.  


Benar kata teman saya, kami rupanya merindukan Sesame Street, Keluarga Cemara, permen karet Yosan, Anak Mas, dan lembar ‘baju-bajuan’ yang dijual pedagang mainan keliling. Namun saya lebih merindukan masa kecil saya, bukan karena kurang bahagia, namun karena sangat bahagia tanpa saya sadari. Dan yang jelas, tanpa Blackberry, Starbucks, Playstation, ataupun produk kapitalis modern.

Jumat, 12 November 2010

Tik Tik Tik












Tes.
Menerpa pipi kananku.
Tes.
Mengelus lembut jemariku yang sibuk menutupi kepala.
Tes. Tes.
Kepalaku menengadah. Alih-alih melihat mendungnya langit yang memang sudah sekelam malam, tetesan demi tetesan jatuh menimpa wajahku.
Hujan!
Aku buru-buru berlindung secepat yang kumampu, dan yang kudapati adalah halte dengan 3 orang selain diriku.
Hmm, pasti deras… sudut mataku mengikuti pergerakan ringan awan.
Benar saja. Hujan seakan memuntahkan apa yang telah ditahan-tahannya selama ini : Hei manusia pengrusak lingkungan, rasakan amarahku! BLAR! Hei Jakarta jorok, rasakan kuasa banjir di tanahmu! BLAR!
Aku menghela napas dan mencoba duduk di tempat duduk halte tersebut, meskipun—ewwwwwww—melihatnyapun aku bergidik jijik. Coret-coretan para ababil (Abege Labil—demikian Bana menyebutnya) di tiang halte, belum lagi permen karet yang memeluk erat di bawah tempat duduk halte, serta sampah berserakan… Sabarrrrrrr… aku mendesah dan mengeluh dalam-dalam.
Dari kejauhan tampak sebuah bus terseok-seok mendekati halte, menembus hujan. Bisa dipastikan tak beberapa lama lagi dalam hitungan tahun karat yang menghiasi tubuh bus akan bertambah. Duh, coba Bana nggak nge-game dulu…
Seorang pemuda berkemeja kotak-kotak dengan ransel buru-buru masuk ke dalam bus, berusaha menengahi amukan hujan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling halte. Dari 3 biji manusia yang sempat bertebar di halte ini. Hanya tinggal satu yang rupanya masih menemaniku dengan setia. Seorang anak laki-laki cilik yang nampaknya berprofesi sebagai ojek payung.
Aku heran dengan si tukang ojek payung ini, dia jelas-jelas bawa payung namun entah kenapa kakinya tak juga beranjak dari halte. Ia justru tampak kusyuk memandang amukan hujan yang semakin kasar. Sedang asyik-asyiknya aku mengamati anak laki-laki itu—sang ojek payung cilik dengan tiga buah payung lusuh—ia mendadak menatapku. Entah kenapa, aku bahkan tak berpaling ketika kedua mata sayu itu bertubrukan dengan kedua mataku.
Ia tertegun sejenak, kemudian kembali memandang langit. Wajahnya tampak tak tenang. Aku jadi penasaran sendiri. Menurutku dan logika kecilku, seharusnya dia menawariku payung. Bukankah dia ojek payung?? Setidaknya dia bisa mendapatkan sejumlah uang. Setidaknya dia tak hanya memandang langit dengan tatapan sayu seperti itu. Dan beberapa setidaknya yang lain, menurutku dan logika kecilku.
Aku berusaha kembali pada realita, dan melupakan si ojek payung cilik. Berkali-kali aku mengecek handphone. Sekedar untuk melihat apakah Bana membalas SMS ku. Namun tetap saja hasilnya NOL besar. Huffttt… Bana pasti sedang sibuk nge-game. Pikirku dongkol. Ah ya! Taksi! Kenapa aku lupa ada kemudahan bernama taksi? Dengan bersemangat, aku menekan-nekan phonebook ku, mencari nomor telepon salah satu perusahaan taksi. Yak, ini dia! Aku menekan tombol Call…
“Sisa pulsa Anda—
ARRGGGGHHHH!!! Damnnnnnnnn!!!
Dengan lunglai aku memasukkan handphone dengan pulsa laknat itu ke dalam tasku.
Ya sudah, mau tak mau rupanya aku harus menunggu hujan ini reda, pikirku getir sambil membayangkan semangkuk bakso, secangkir kopi hangat, serta sofa dengan selimut yang nyaman dan hangat di rumah. Banaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Rutukku pada calon suamiku itu dalam hati
Satu menit
Tiga menit.
Riuh hujan kian mengganas, seakan-akan kami yang di halte ini tinggal menunggu puting beliung menerbangkan atap halte.
Lama-kelamaan aku bisa mati bosan. Iseng, aku memandang si ojek payung cilik yang duduk menyempil di dekat tiang. Ia sudah tak menatap langit, tapi kini ganti menatap tanah. Atau mungkin menatap kakinya yang sibuk bergoyang kesana-kemari dengan sandal jepit hijaunya yang lusuh. Aku tersenyum geli, tukang ojek payung cilik ini, meski bagaimanapun tetaplah manusia.
“Dik.”
Ia menoleh, menyahuti panggilanku.
“Iya, Kak?” tanyanya dengan pandangan heran bahkan cenderung takut-takut. Berani bertaruh, pasti jarang ada orang asing sepertiku yang memanggilnya dengan penuh keingintahuan. Mungkin dia mengiraku adalah sejenis pengedar barang haram.
“Nggak pulang?” tanyaku masih penasaran karena bagaimanapun ia adalah ojek payung dengan payung. Bukannya aku dengan handphone tak berpulsa dan calon suami yang ngelungker nge-game di rumah.
Ia menggeleng pelan, kemudian kembali sibuk dengan aku-dan-goyangkan-sandal-hijauku.
“Payungnya rusak, Dik?” aku bisa merasakan perasaan para reporter entertainment yang kerap diacuhkan socialite dan harus puas dengan “no comment” ataupun senyuman (tampaknya) palsu.
“Mbak mau pinjam? Dua ribu aja.” Katanya kemudian, namun dengan nada tak yakin.
“Nggak, aku nunggu temen kok.” Sahutku sekenanya. Trenyuh juga aku mendengar ‘harga’ payung itu. Padahal dia pasti tetap saja kehujanan. Lebih trenyuh rasanya ketika berhadapan langsung dengan pelaku…
Ia kembali menunduk. Diam. Hmm.. susah juga mengajak anak ini ngobrol. Tampaknya ia benar-benar lebih tertarik dengan sandal hijaunya itu.
“Adik sekolah?” tanyaku lagi. Berusaha lagi.
“Udah nggak dari kelas 3 SD, Kak.” Sahutnya malu-malu. Kali ini ia berani menatap wajahku.
“Kenapa?” meski aku tahu itu hanyalah pertanyaan klise.
Ia menoleh lagi ke arahku. “Nggak punya duit…” sahutnya.
“Ooo.. “ aku hanya bisa ber-o-o saja. Bingung hendak merespon apa.
Akupun menjadi terlibat obrolan ringan dengan anak ini. Namanya Rahmat. Seharusnya ia sudah kelas 6 SD sekarang, saatnya ujian nasional. Namun badannya memang tak mencerminkan bahwa ia sebenarnya menginjak kelas 6 SD, kurus, penuh bekas luka. Potret khas kemiskinan dan tekanan hidup sebagai kaum urban. Kudengar kemudian ia berasal dari Klaten. Ia dibawa ibunya menikmati kerasnya ibukota setelah sang ayah meninggal gara-gara TBC. Berdua dengan ibunya, Rahmat harus ikut membanting tulang. Ibunya berprofesi sebagai buruh cuci serabutan. Bila musim hujan seperti ini, ibu Rahmat membantu sebagai tukang cuci piring di warteg pinggir jalan, tak jauh dari halte tempat mereka berteduh kini. Sejenak pikiranku melayang pada berbagai reality show yang kerap mengeksploitasi kemiskinan sebagai pendongkrak rating.
Tubuh kecil itu kini menggigil. Hujan memang tak kunjung berhenti. Aku jadi iba padanya. Niat hati hendak bangkit melihat jalanan…
BRUK.
Aku melenguh. Agenda yang dari tadi berada di pangkuanku terjatuh. Beberapa lembar kertas dan bon-bon nggak penting bertebaran. Duhhhh… dengan ekstra bête aku memungut satu per satu kertas itu dari tanah. Uhhhhh… jijikkkk… becekkk…
“Ini Kakak?” Rahmat menyerahkan selembar ukuran postcard kepadaku dengan mimic lucu.
Aku buru-buru mengambil lembar yang ternyata foto itu. Dan …blushhhhhhh… mukaku memerah. Itu aku!! Duhhhhh…
“Itu Kakak?” tanyanya lagi. Aduhhh anak iniiiiii…
Aku mengangguk masam bercampur malu.
“Kakak di foto itu cantik.” Katanya kemudian. Membuatku malu. Dan… tidak percaya!!
Namun entah kenapa ia tetap bersikeras.
“Benar Kak! Kakak itu cantik karena rambutnya kriting gede-gede. Cantik, deh! Kayak Mbak Ika.” Timpalnya kemudian sungguh-sungguh.
“Mbak Ika?” tanyaku lagi. Masih malu sebenarnya. Foto itu, yang kata Rahmat cantik dengan ‘keriting gede-gede’ nya, memang aku, Rinayu Puri, sekitar beberapa tahun yang lalu. Beberapa tahun kemudian, aku memutuskan berganti model rambut lurus dengan harapan Bana, sang calon suamiku yang tak kunjung menjemputku hingga sekarang, berhenti berkomentar dan menyela rambut lamaku. Sekali dua kali sih tak apa, tapi lama-lama jengah jadinya.
Rahmat mengangguk.
“Iya Kak. Mbak Ika itu kakakku. Rambutnya bagus kayak kakak. Cantik.” Senyumnya riang. Senyum pertama setelah dari tadi aku mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul.
Seakan aku menimang kata itu. Cantik. Hmm… bukan sekali dua kali mungkin aku dipuji cantik. Namun itu ketika rambutku telah berubah dan mungkin… ketika aku tak lagi menjadi diriku. Bukan, bukan berarti aku mengabaikan rambutku. Hanya saja, aku rindu rambut lamaku, yang berarti pertengkaran-pertengkaran kecil nggak penting dengan Bana. Kini kata itu kudengar lagi. Kata yang kudengar entah kapan dengan tulus dari Ibu. Aku mungkin bukanlah pribadi yang mampu menyuarakan pendapatku. Terkadang aku terjebak dalam kenyamanan dan dipuja orang lain, meskipun berarti aku mengekang diriku sendiri. Dan bertahun-tahun aku tak peduli dengan diriku. Tanpa sadar aku mendesah panjang.
“Mbak Ika sekarang dimana?” tanyaku pelan. Hujan mereda. Handphone-ku berbunyi. Sekilas aku mengintipnya. Bana calling.
“Jadi TKW di luar negri! “ sahutnya bangga.
Aku menjadi semakin miris.
“ Mat, ayo pulang! “ sebuah suara wanita mengagetkanku.
Dari sebelah kiriku muncul seorang wanita yang sama kurusnya dengan Rahmat, bajunya basah kuyup. Rupanya wanita itu nekat menembus hujan yang tak kunjung reda. Sementara itu, di ketiak kirinya tersembul koran yang sudah tak berbentuk karena guyuran air hujan. Entah ini pikiranku saja, aku merasa wanita itu habis menangis. Tak ada bedanya karena hujan, tapi terlihat. Wanita itu meletakkan Koran basah itu tak jauh dari aku duduk.
“Kak, aku pulang dulu ya!” mendadak ia meraih tanganku dan menciumnya. Aku terkejut. Ia lalu mengembangkan salah satu payung dari tiga payung lusuhnya. Aku baru paham. Rupanya sedari tadi ia menunggu ibunya selesai bekerja. Karena sang ibu tak membawa payung maka Rahmat menanti wanita itu dengan setia.
Mendadak bayangan Ibu melintas di kepalaku. Ah, Ibu. Apa kabar Ibu disana?
Lamunanku tersandung pandangan. Koran basah tadi. Aku buru-buru bangkit, namun sosok Rahmat dan ibunya telah tertelan polusi. Hujan sudah reda. Namun lagi-lagi pandanganku tertumbuk pada headline di salah satu kolom… Jantungku berdebar hebat. Lebih hebat dari ketika Bana mengutarakan perasaannya padaku.

… bernama Ika (23) ditemukan tewas tak bernyawa. Berdasarkan hasil otopsi diduga korban melompat dari lantai 7 tempat ia bekerja. Saksi mata melihat wanita itu melongok dari jendela berkali-kali, seperti memastikan sesuatu. Namun kepolisian setempat belum memberikan penjelasan lebih lanjut. Majikannya pun bungkam. Wanita yang berasal dari Klaten ini…

Din!
Suara klakson mobil mengagetkanku. Bana.
“Maaf, sayang. Aku tadi ketiduran, jadi nggak baca SMS kamu. Maaf… Yuk!” katanya setelah menurunkan kaca mobil.
Dengan gemetar, aku mendekati mobil dan menunduk agar sejajar dengan Bana.
“Sayang, aku ingin berganti model rambut. Aku rindu rambut ikalku. Just let me be myself…

Seorang pemulung—the real eco-living assistant in megapolitan—berusaha memilah sampah yang berserakan. Matanya menyapu semua titik, mencoba mendeteksi keberadaan benda kumuh yang menjadi periuk nasinya. Ah, Koran! Dengan riang ia memasukkan Koran yang tertunduk lesu di tas kursi halte ke dalam karung goni dekil miliknya.

Mirror Mirror On The Wall, Oh Just Tell Me!


Siapakah yang paling jujur di muka bumi ini?
Kamu bisa menjawab banyak dengan pertanyaan seperti itu. Bagi seseorang yang sedang dimabuk cinta, sudah pasti dia akan menjawab kekasihnya adalah orang yang paling jujur. Bagi pelaku spiritual dalam agama saya, bisa jadi Nabi Muhammad SAW adalah sosok terjujur dalam hidup. Lain lagi bagi para orang awam, setidaknya mungkin diri mereka lebih jujur dari para koruptor. Semua orang memiliki role model sendiri dalam memaknainya. Saya juga punya.
Namanya cermin.






Pagi ini saya bercermin dengan sebuah cermin lumayan besar yang merupakan warisan seseorang yang sangat berarti bagi saya. Cermin sederhana, tanpa ornamen-ornamen penting di sekelilingnya. Pagi ini cermin saya menampakkan wajah kusut masai seseorang yang baru terbangun pada pukul 06.30, dengan rambut seperti medusa, muka berminyak, dan mata sembap plus kantong mata. Wajah saya. Selama sepersekian detik saya mencoba menelaah wajah itu. Tapi hasilnya sama seperti detik-detik, menit, jam, hari, minggu, dan tahun sebelumnya. Tak ada perubahan berarti, kecuali saya melakukan tindakan ekstrim seperti suntik botox bla bla bla. Entah saya sadari atau tidak, terkadang ada sebersit keinginan ketika saya melihat cermin untuk kesekian kalinya. Seperti ketika saya memiliki jerawat lumayan besar di ujung hidung, maka saya berharap ketika saya tidur kemudian ketika bangun akan melihat jerawat itu akan menghilang dengan ajaib begitu saya memandang cermin. Kasus lain ketika saya bertengkar dengan hebat dengan seseorang dan semalaman saya menangis tersedu-sedu dan merasa begitu malang. Saya tahu bahwa akan timbul kantong mata yang begitu besar dan tampak bengkak, dan lagi-lagi harapan saya tetap sama ketika sebelum menyentuh cermin : semoga kantong matanya kempes. Manusia boleh berharap, bukan.

Mirror mirror hanging on the wall.
 Saya cukup menyukai salah satu scene dalam Karate Kid, ketika Dre melihat magic kungfu water kemudian menatap pantulan wajahnya di dalam air. Sekalipun air bergelombang, kau akan tetap melihat wajahmu disana, bukan orang lain. Sekalipun kaca itu retak, pecah berkeping-keping, kau akan tetap melihat wajahmu disana, terpantul.
Hmm… mungkin saya berusaha menjadi sosok lain. Bereksperimen dengan poles sana, poles sini. Tarik sana, jepit sini. Delapan bulan saya bekerja sebagai part-timer di salah satu perusahaan mungkin mengubah sedikit kepingan diriku. Tapi toh, ketika saya kembali bertransformasi menjadi diri, saya di akhir shift, lagi-lagi itulah yang terlihat. Cermin menuntun kita belajar banyak. Suatu saat aku merasa begitu ‘malam minggu’ (meminjam istilah Radithya Dika:)), begitu bersemangat, terang, bercahaya, seakan-akan tak ada yang bisa menghentikanku. Di suatu saat yang lain aku bisa menjadi ‘malam jumat’ (thanks to Raditya Dika, yang sangat cerdas menciptakan istilah konyol) , tampak menyedihkan, ambyar, berantakan. Hidup segan matipun tak mau. Tapi toh beragam ‘penampakan’ itu lah yang harus kita hadapi, setiap hari.

Saya punya opini sendiri bahwa setiap manusia berproses dengan identitasnya setiap saat. Berproses dengan tren, waktu, dan finansial. Adalah nonsense ketika seseorang merasa telah begitu settled dengan prestise akan posisi CEO, Android, Starbucks, dan Zara. Toh, mereka tetap berproses, menemukan mana yang paling sesuai dengan kapasitas mereka, atau mungkin kapasitas dalam pandangan orang lain. Mencari identitas dimana-mana, dan saya menemukannya di depan cermin itu. Menatap langsung manik mata saya, dan mulai paham identitas seperti apa yang saya inginkan. Cermin ini adalah rekan tersetia dan terjujur saya dalam hidup, menampilkan identitas paling kelam yang mungkin menjadi rahasia pribadi. Dan saya, tak bisa menutupi diri saya dari  kepungan cermin. Mungkin saya lelah, cemas, dan tampak panik. Namun mungkin itulah kenyatan yang harus saya hadapi. Diri saya sendiri.
Siang ini saya bercermin, mendapati jidat saya tampak sedikit bengkak karena baru saja terantuk kusen jendela dengan keras. Pasti akan terasa sakit malam nanti. Saya bisa menjadi pribadi yang berbeda-beda sesuai pesanan antara satu hari dengan hari yang lain. Semacam pemenuhan delivery order lingkungan cuma-cuma. Namun untuk malam ini, saya ingin tampil dengan memar baru di jidat. 
Mirror mirror hanging on the wall, just tell me.